Liputan (29/9-2012) – “Perlu diperhatikan AIDS
bukan dibawa orang Papua tapi genosida.” Itulah pernyataan seorang pendengar di
“RRI Jayapura” pada acara talk show (28/0-2012) dengan peserta Pelatihan
Jurnalistik bagi Wartawan dan Populasi Kunci untuk Mendorong Percepatan
Penanggulangan HIV/AIDS di Provinsi Papua-KPA Prov Papua di Jayapura (25-27/9-2012).
Kalau saja yang menelepon ke RRI Jayapura itu dan kalangan lain di Papua
melihat kasus HIV/AIDS di Papua Niugini dan Arab Saudi tentulah pernyataan yang
mengaitkan penyebaran HIV/AIDS di Tanah Papua tidak ada kaitannya dengan
genosida.
Lihat saja kasus HIV/AIDS di Papua Niugini yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Keerom, Kota Jayapura, Kabupaten Merauke dan
Kabupaten Pegunungan Bintang, tahun 1984 – 1989 sudah melaporkan 28.294 kasus
HIV/AIDS. Estimasi UNAIDS (Badan PBB yang menangani HIV/AIDS) menyebutkan ada
54.000 kasus. Sedangkan tahun 2007 estimasi UNAIDS menyebutkan ada 59,537 penduduk Papua Niugini yang mengidap HIV/AIDS, termasuk 1,057
anak-anak dari 5.1 juta penduduk (http://www.pacificaids.org).
Begitu
juga dengan Arab Saudi dari tahun 1984 sampai 2010 kasus AIDS dilaporkan
16,334 (4,458 pada orang Saudi asli dan 11,876 bukan orang Saudi (www.saudiembassy.net- 29/11-2011).
Sedangkan
kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua sampai
Agustus 2012 dilaorkan 12.187 terdiri atas 5.090
HIV dan 7.097 AIDS
dengan 980 kematian. Tapi,
Papua Niugini dan Arab Saudi tidak pernah mengait-ngaitkan kan penyebaran HIV di
negara mereka dengan genosida.
Genosida yaitu pembunuhan besar-besaran secara
berencana terhadap suatu bangsa atau ras bisa dilakukan dengan penyakit
bersifat wabah (penyakit menular yg berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah
besar orang di daerah yang luas, misalnya dengan cacar, disentri, kolera). Artinya,
penyakit itu bisa menular melalui udara dan air sehingga sulit dihindari.
Sedangkan HIV/AIDS bukan wabah karena tidak menyebar dengan cepat dan tidak
pula bisa disebarkan melalui udara dan air. Penyebarannya bisa ditanggulangi
dengan cara-cara yang realistis yang bisa dilakukan oleh orang per orang.
Setiap orang, bisa melindungi dirinya agar tidak tertular HIV/AIDS, al.:
(1) Laki-laki dewasa tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di
dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Papua
atau di luar wilayah Papua.
(2) Laki-laki dewasa tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di
dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung (seperti
‘cewek kafe’, ‘cewek bar’, ‘cewek SPG’, ‘pelajar SMA’, ‘mahsiswi’, ‘ibu-ibu’,
dll.) di wilayah Papua atau di luar wilayah Papua.
(3) Perempuan dewasa tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di
dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti di wilayah Papua
atau di luar wilayah Papua.
Pertanyaan untuk yang menelepon adalah: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada
penduduk Papua yang melakukan perilaku (1), (2) dan (3)?
Kalau jawabannya BISA, maka penyebaran HIV/AIDS di Papua tidak terkait
dengan perilaku seks berisiko.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka penyebaran HIV/AIDS di Papua sama
sekali tidak ada kaitannya dengan genosida tapi terkait langsung dengan
perilaku seksual sebagian penduduk.
Lagi pula kalau ada penduduk Papua yang menganggap PSK yang datang ke Papua
sebagai ‘agen’ genosida, maka mengapa ada laki-laki dewasa Papua yang mau
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK?
Hal lain yang diabaikan oleh orang-orang Papua adalah fakta bahwa yang
menularkan HIV/AIDS kepada PSK al. adalah laki-laki dewasa penduduk Papua asli.
Lalu, ada pula laki-laki dewasa penduduk Papua asli yang tertular HIV/AIDS dari
PSK.
Di masyarakat laki-laki dewasa yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki
yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat, terutama malalui hubungan seksual tanpa kondom.
Penyebaran HIV/AIDS kian merajalela kalau ada laki-laki tsb. yang mempunyai
pasangan lebih dari satu. Misalnya, pada komunitas yang memberikan hak kepada
kepala komunitas untuk menyetubuhi perempuan di komunitasnya maka semua
perempuan di komunitas itu berisiko tertular HIV.
Kepala komunitas bisa saja tidak kehilangan hak yaitu jika melacur memakai
kondom sehingga hubungn seksual dengan perempuan di komunitasnya tidak perlu
memakai kondom. Atau sebaliknya, ketika melacur tidak perlu memakai kondom,
tapi hubungan seksual dengan perempuan di komunitas dilakukan dengan memakai
kondom.
Selama Papua menyangkal penyebaran HIV terkait dengan perilaku sebagian
penduduk, terutama laki-laki dewasa, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS
akan terus terjadi. Papua tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.