Opini. Walaupun
HIV/AIDS sudah dikenal sejak 31 tahun yang lalu, tapi pemahaman terhadap
HIV/AIDS tetap saja tidak akurat. Ini tampak jelas dalam 55 peraturan daerah (perda)
penanggulangan AIDS yang tidak menyentuh akar persoalan pandemi HIV.
Salah
satu ide yang muncul dalam beberapa perda adalah tes HIV sebelum menikah.
Ada
fakta yang luput dari perhatian kalangan yang mengusung ide tes HIV sebelum
menikah, yaitu hasil tes, terutama dengan reagen ELISA, bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu.
Tes
HIV dengan rapid test dan ELISA perlu diperhatikan masa jendela
yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibody HIV di
dalam darah (Lihat Gambar).
Soalnya,
tes HIV dengan rapid test dan ELISA bukan mencari virus (HIV) dalam
darah tapi antibody HIV. Antidody HIV baru bisa dideteksi dengan rapid test dan
ELISA setelah virus minimal tiga bulan di dalam tubuh. Maka, jika tes HIV
dilakukan di bawah tiga bulan setelah tertular HIV, maka tes tidak bisa
mendeteksi antibody HIV di dalam darah.
Maka,
hasilnya pun bida negatif palsu, yaitu hasil tes nonreaktif (negatif), tapi
negatif palsu. Virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi karena
belum ada antibody HIV. Sebaliknya, hasil tes bisa reaktif (positif), tapi HIV
tidak ada di dalam darah.
Dalam
kaitan ini jika hasil tes HIV calon pengantin yang menjalani tes HIV sebelum
menikah positif palsu tentulah merugikan calon pengatin karena akan timbul
masalah.
Tapi,
yang menyesatkan adalah jika hasil tes HIV calon pengantin negatif palsu.
Pernikahan berjalan, tapi mempelai pengidap HIV/AIDS. Jika hasil tes HIV suami
yang negatif palu, maka dia akan menularkan HIV kepada istrinya. Jika istrinya
tertular HIV, maka kelak ada risiko penularan HIV kepada bayi yang
dikandungnya.
Maka,
yang perlu dilakukan adalah konseling atau bimbingan bagi calon pengantin.
Melalui konseling akan diperoleh gambaran perilaku mereka. Risiko tertular HIV
terkait erat dengan perilaku seksual yang berisiko.
Siapa,
sih, yang berisiko tertular HIV?
Selama
ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko
tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK)
dan pelanggannya, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina
atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau
kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang.
Mereka
yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan:
(a)
yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti,
(b)
yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
(c)
memakai jarum suntik secara bergantian,
(d)
menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan
(e)
menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.
Skirining
HIV di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya
pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif
palsu.
Salah
satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa jendela adalah
dengan pertanyaan: ”Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga
bulan maka donor ini ditolak.
Celakanya,
pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos
yaitu ”Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke
luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak
hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri.
Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan
sebagai ke luar negeri.
Karena
HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat
dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV, termasuk dalam perda, adalah dengan
mewajibkan setiap orang untuk memakai kondom pada hubungan seksual, di dalam
atau di luar nikah, yang berisiko tertular HIV. Selanjutnya diwajibkan pula
kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan hubungan seksual
berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.
Kian
banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi, maka semakin banyak pula mata rantai
penyebaran HIV yang diputus. ***[Syaiful
W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Pak Syaiful. Pernyataan (a) yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti,
BalasHapusmungkin perlu diganti krn pernyataan itu bisa dibreakdown menjadi
(a) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti