30 Agustus 2012

Sia-sia, Tes HIV Sebelum Menikah


Opini. Walaupun HIV/AIDS sudah dikenal sejak 31 tahun yang lalu, tapi pemahaman terhadap HIV/AIDS tetap saja tidak akurat. Ini tampak jelas dalam 55 peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS yang tidak menyentuh akar persoalan pandemi HIV.

Salah satu ide yang muncul dalam beberapa perda adalah tes HIV sebelum menikah.

Ada fakta yang luput dari perhatian kalangan yang mengusung ide tes HIV sebelum menikah, yaitu hasil tes, terutama dengan reagen ELISA, bisa menghasilkan positif palsu atau negatif palsu.

Tes HIV dengan rapid test dan ELISA perlu diperhatikan masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV dengan pembentukan antibody HIV di dalam darah (Lihat Gambar).


 Soalnya, tes HIV dengan rapid test dan ELISA bukan mencari virus (HIV) dalam darah tapi antibody HIV. Antidody HIV baru bisa dideteksi dengan rapid test dan ELISA setelah virus minimal tiga bulan di dalam tubuh. Maka, jika tes HIV dilakukan di bawah tiga bulan setelah tertular HIV, maka tes tidak bisa mendeteksi antibody HIV di dalam darah.

Maka, hasilnya pun bida negatif palsu, yaitu hasil tes nonreaktif (negatif), tapi negatif palsu. Virus (HIV) sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV. Sebaliknya, hasil tes bisa reaktif (positif), tapi HIV tidak ada di dalam darah.

Dalam kaitan ini jika hasil tes HIV calon pengantin yang menjalani tes HIV sebelum menikah positif palsu tentulah merugikan calon pengatin karena akan timbul masalah.

Tapi, yang menyesatkan adalah jika hasil tes HIV calon pengantin negatif palsu. Pernikahan berjalan, tapi mempelai pengidap HIV/AIDS. Jika hasil tes HIV suami yang negatif palu, maka dia akan menularkan HIV kepada istrinya. Jika istrinya tertular HIV, maka kelak ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Maka, yang perlu dilakukan adalah konseling atau bimbingan bagi calon pengantin. Melalui konseling akan diperoleh gambaran perilaku mereka. Risiko tertular HIV terkait erat dengan perilaku seksual yang berisiko.

Siapa, sih, yang berisiko tertular HIV?

Selama ini ada salah kaprah karena yang dikategorikan sebagai orang yang berisiko tertular HIV adalah kalangan atau kelompok yaitu pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggannya, waria dan homoseksual serta orang-orang yang melakukan zina atau melacur. Risiko tertular atau menularkan HIV bukan pada kalangan atau kelompok tapi terletak pada perilaku seks orang per orang.

Mereka yang berisiko tinggi tertular HIV adalah laki-laki atau perempuan:

(a) yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti,

(b) yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,

(c) memakai jarum suntik secara bergantian,

(d) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan

(e) menerima transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining HIV.

Skirining HIV di PMI pun tidak akurat karena kalau ada donor yang menyumbangkan darahnya pada masa jendela maka skrining terhadap darah donor bisa menghasilkan negatif palsu.

Salah satu langkah untuk mencegah donor menyumbangkan darah pada masa jendela adalah dengan pertanyaan: ”Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ini ditolak.

Celakanya, pertanyaan di PMI ketika hendak mendonorkan darah justru menyuburkan mitos yaitu ”Kapan Anda terakhir ke luar negeri?” Tidak ada kaitan langsung antara ke luar negeri dengan penularan HIV karena orang-orang yang tertular HIV tidak hanya terjadi di luar negeri tapi juga banyak yang terjadi di dalam negeri. Selain itu kegiatan keagamaan ke luar negeri pun di PMI tidak diketegorikan sebagai ke luar negeri.

Karena HIV/AIDS sudah ada di masyarakat maka salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menanggulangi epidemi HIV, termasuk dalam perda, adalah dengan mewajibkan setiap orang untuk memakai kondom pada hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, yang berisiko tertular HIV. Selanjutnya diwajibkan pula kepada orang-orang yang sudah pernah atau sering melakukan hubungan seksual berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela.

Kian banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi, maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

1 komentar:

  1. Pak Syaiful. Pernyataan (a) yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti,
    mungkin perlu diganti krn pernyataan itu bisa dibreakdown menjadi
    (a) yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.