Provinsi Jawa Tengah menelurkan peraturan daerah (Perda) untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Melalui Perda No 5 Tahun 2009 tanggal 24 April 2009 Pemprov Jateng akan mengendalikan epidemi HIV/AIDS di Jawa Tengah.
Apakah
perda ini menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?
Tentu
saja tidak!
Soalnya,
perda ini yang merupakan salah satu dari 55 perda, 1
peraturan gubernur, dan 1 peraturan walikota, yang sudah ada di Indonesia sama
seperti perda lain yaitu copy-paste.
Perda ini pun bagaikan ‘macan kertas’ karena tidak menukik ke akar masalah dan
pasal-pasal penanggulangan dan pencegahan pun tidak konkret.
Coba
simak pasal 5 tentang pencegahan tidak ada pasal yang ekplisit terkait dengan
pencegahan melalui hubungan seksual.
Padahal,
fakta menunjukkan faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV
paling banyak melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah...
.
.
Di
pasal 5 ayat a (2) disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya
peningkatan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko.”
Penggunaan
kondom yang yang dimaksud mengacu ke program di Thailand, yaitu ‘wajib kondom
100 persen’ bagi laki-laki dewasa pada hubungn seksual dengan pekerja seks
komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah border.
Tapi,
bunyi pasal 5 ayat a (2) tsb. tidak konkret karena dalam perda ini tidak jelas
siapa sasarannya dan di mana perilaku berisiko tsb. dilakukan. Ini menunjukkan
ambiguitas karena HIV/AIDS dilihat dari sudut pandang moral sehingga tidak
dikaitkan dengan realitas sosial terkait dengan praktek pelacuran yang ada di
Jawa Tengah. Lagi pula biar pun di Jawa Tengah tidak ada lokalisasi penduduk
Jawa Tengah bisa saja melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom di
luar Jawa Tengah atau di luar negeri.
Kasus
HIV/AIDS mulai banyak terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Mereka tertular HIV
dari suaminya. Ini membuktikan bahwa suami mereka tidak memakai kondom ketika
melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain, seperti PSK. Terkait dengan
hal ini pada pasal 5 ayat c disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan
melalui upaya pengurangan risiko penularan dari ibu yang positif HIV ke bayi
yang dikandungnya.”
Persoalan
yang sangat mendasar adalah: Bagaimana mendeteksi ibu-ibu rumah tangga yang
sudah tertular HIV?
Dalam
perda ini tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV pada ibi-ibu
hamil. Karena tidak ada mekanisme yang konkret, maka kasus HIV pada ibu hamil
tidak akan banyak terdeteksi. Akibatnya, akan banyak bayi lahir dengan HIV. Ini
akan menambah beban karena akan banyak bayi dengan HIV yang memerlukan perawatan
dan pengobatan.
Di
pasal 5 ayat g disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya
pemberian materi kesehatan reproduksi termasuk di dalamnya tentang IMS dan HIV
bagi peserta didik.”
Lagi-lagi
pasal ini menyasar remaja padahal fakta menunjukkan mata rantai penyebaran HIV
dilakukan oleh kalangan dewasa, terutama laki-laki, yang dibuktikan dengan
kasus HIV pada ibu-ibu rumah tangga.
Selain
itu perlu pula dipertanyakan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
HIV/AIDS yang akan diberikan.
Apakah
materi KIE kelak akan diberikan secara akurat atau dibalut dengan norma, moral
dan agama?
Kalau
materi dibalut dengan norma, moral dan agama maka informasi yang akurat tentang
HIV/AIDS tidak akan pernah sampai ke kalangan remaja. Ini lagi-lagi membuat
perilaku remaja berada pada posisi yang rawan tertular HIV karena mereka tidak
memahami cara-cara pencegahan yang konkret.
Pada bagian perlindungan terhadap Odha dan masyarakat
di pasal 10 ayat 6 disebutkan: “Setiap calon pasangan berisiko tinggi yang akan
menikah disarankan untuk melakukan pemeriksaan di klinik VCT.” Ini sangart
rancu karena: (a) siapa (saja) yang dikategorikan sebagai pasangan yang
berisiko tinggi, (b) klinik VCT bukan untuk memeriksakan kesehatan (umum) tapi
tempat tes HIV melalui konseling sebelum dan sesudah tes HIV. Lagi pula tes HIV
sebelum menikah dalam kaitan penanggulangan HIV/AIDS adalah usaha yang sia-sia (Lihat:
Sia-sia, Tes HIV Sebelum Menikah - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/sia-sia-tes-hiv-sebelum-menikah_30.html).
Pada
pasal 12 ayat 5 disebutkan: “Petugas kesehatan mendorong setiap orang yang
berisiko terhadap penularan HIV dan IMS untuk memeriksakan kesehatannya ke
klinik VCT.”
Bukan
orang yang berisiko tapi pasien yang berobat ke sarana kesehatan dengan keluhan
penyakit terkait HIV/AIDS dengan latar belakang perilaku berisiko tertular HIV
untuk menjalani tes HIV di klinik VCT.
Di
pasal 12 ayat 6 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya
terinfeksi HIV dan AIDS wajib berobat. melindungi dirinya dan pasangannya.”
Yang
menular adalah HIV bukan AIDS. Seseorang terdeteksi HIV bisa sebelum dan pada
masa AIDS. Persoalan besar justru banyak orang yang tidak menydari dirinya
sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik
mereka. Tapi, mereka bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalaui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah tanpa mereka sadari.
Pasal
12 ayat 7 disebutkan: “Setiap orang yang berhubungan seksual dengan seseorang
yang diketahui atau patut diduga bahwa dirinya atau pasangannya terinfeksi HIV
dan AIDS wajib melindungi pasangan dan dirinya dengan menggunakan kondom.”
Seperti diketahui tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik seseorang
yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular
HIV) sehingga tidak bisa menduga-duga apakah seseorang sudah tertular HIV.
Pasal
ini menunjukkan pengabaian terhadap perilaku berisiko yaitu hubungan seksual
dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ada di Jawa Tengah. Pasal
ini menampik fakta tentang keberadaan lokasi dan lokalisasi pelacuran di Jawa
Tengah. Padahal, di Kota Semarang saja ada lokalisasi pelacuran ‘Sunan Kuning’
(Lihat: Mudik, 2.000 PSK di Kota
Semarang, Jateng, yang Terindikasi Mengidap HIV/AIDS - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/mudik-2000-psk-di-kota-semarang-jateng.html).
Jika
perda ini tidak dibalut dengan moral maka pasal 12 ayat 7 berbunyi: “Setiap
laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK
langsung (PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan
hotel berbintang), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak
sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL,
dll.) serta pelaku kawin cerai di dalam atau di luar wilayah Provinsi Jawa
Tengah.”
Biar
pun HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga penanggulangannya dapat dilakukan
dengan cara yang realistis, tapi dalam perda ini tidak ada cara-cara konkret
untuk menanggulangi epidemi HIV.
Pada
pasal 12 ayat 11 disebutkan: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan,
atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib memberika informasi
atau penyuluhan secra berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua
pekerjanya.” Lagi-lagi ini menunjukkan kemunafikan. Apa, sih, tempat
hiburan yang menjadi tempat berisiko (penularan HIV)? Apa iya bioskop, karaoke,
pantai, kebun binatang, dll. menyediakan PSK?
Sedangkan
di pasal 12 ayat 12 disebutkan: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat
hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib mendata
pekerja yang menjadi tanggungjawabanya.” Apa pula yang dimaksud dengan tepat
hiburan yang berisiko tinggi (penularan HIV) pada pasal ini?
Kalau
saja pasal pasal 12 ayat 11 dan 12 tidak dibalut dengan moral maka yang dituju
adalah lokasi atau lokalisasi pelacuran serta tempat yang menyediakan PSK.
Tapi, perda ini menafikan lokasi dan lokalisasi pelacuran di Jawa Tengah sehingga
semua serba samar-samar.
Pasal
13 ayat 4 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi
HIV dan AIDS dilarang dengan sengaja menularkan infeksinya kepada orang lain.”
Ini pun menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terkait dengan HIV/AIDS sebagai
fakta medis. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen orang yang tertular HIV
justru tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV sehingga penyebaran HIV
terjadi tanpa mereka sadari. Yang ditulakan bukan ‘infeksinya’ dan AIDS, tapi
HIV.
Pada
bab IV yaitu bagian peran serta masyarakat juga tidak memberikan cara yang
konkret justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan
diskrimnasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Pasal 14 ayat 1 disebutkan: “Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta
dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap Odha dan
Ohida dengan cara (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) meningkatkan ketahanan
keluarga.”
Tidak
ada kaitan langsung antara hidup sehat dengan penularan HIV dan ketahanan
keluarga. Ini mengesakan Odha sebagai orang yang tidak hidup sehat dan tidak
mempunyai ketahanan keluarga. Ini menyesatkan.
Pada
14 ayat 3 disebutkan: “Masyarakat mendorong setiap orang yang berisiko terhadap
penularan HIV dan IMS untuk memeriksakan kesehatannya ke klinikVCT.” Ini bisa
menimbulkan fitnah karena tidak ada ukuran objektif yang bisa menetapkan
perilaku setiap orang apakah berisiko atau tidak.
Perda
ini pun akan sama nasibnya dengan perda-perda yang sudah ada terkait dengan
penanggulangan epidemi HIV yaitu mubazir karena tidak menukik ke akar persoalan
secara konkret. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.