Oleh Syaiful W. Harahap
Pengantar Redaksi: Ketika banyak
negara di berbagai belahan dunia mulai bisa mengendalikan penyebaran HIV/AIDS
dengan cara-cara yang realistis melalui program yang konkret, di Indonesia
justru baru pada tahap caci-maki dengan mencari-cari kambing hitam.
Kantor DPRD Kab. Nabire (nabire.wordpress.com) |
Sampai Agustus 2012 sudah ada 55
perda di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, satu peraturan gubernur, dan
satu peraturan wali kota.
Perda pertama tentang pencegahan penanggulangan IMS
(infeksi menular seksual yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual di dalam dan di luar nikah, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) dan
HIV/AIDS adalah Perda Kabupaten Nabire, Papua, No 18 Tahun 2003 tanggal 30Januari 2003.
Perda-perda itu lahir sebagai reaksi kepanikan atas penemuan kasus-demi kasus. Perda itu ’berkiblat’
ke Thailand karena di sana ada program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki
melalui hubungan seksual dengan PSK yang terbukti menurunkan insiden infeksi
HIV baru di kalangan laki-laki dewasa.
Yang muncul hanya pasal-pasal
normatif tanpa langkah penerapan dan pemantauan yang konkret.
Pasal-pasal dalam perda ini
sendiri dibalut dengan moral sehingga yang muncul hanyalah pasal-pasal yang
normatif belaka.
Thailand menerapkan program ’wajib
kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Tapi, di Perda
AIDS Nabire lokalisasi pelacuran disebut sebagai ‘tempat-tempat hiburan’. Hutan
belantara, pantai, bioskop, mal, dll. juga (bisa) tempat hiburan.
Apa, sih, yang dimaksud sebagai
‘tempat-tempat hiburan’ dalam Perda AIDS Nabire?
Di pasal 1 ayat 4 disebutkan:
”Tempat-tempat hiburan adalah tempat-tempat yang secara langsung atau tidak
langsung memungkinkan transaksi seks komersial. Yang secara langsung
lokalisasi, sedangkan yang tidak langsung antara lain bar karaoke, panti pijat,
kafe dan warung makan.”
Mengapa tidak disebut saja
’lokasi pelacuran’ dan ’lokalisasi pelacuran’? Ya, itu tadi perda karena ini
dirancang dengan semangat moral untuk menanggulangi AIDS sebagai fakta medis.
![]() |
Perda AIDS Nabire [regional.kompasiana.com] |
Untuk memantau pemakaian kondom
pada laki-laki ’hidung belang’, maka PSK yang menjadi anak buah germo menjalani
tes IMS secara rutin.
Kalau ada PSK yang mengidap IMS
maka itu membuktikan PSK tersebut meladeni laki-laki ’hidung belang’ tanpa kondom.
Germo diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.
Nah, dalam Perda AIDS Nabire
pemantauan dilakukan dengan cara, seperti yang tercantum di pasal 20 ayat 2:
”Insidens IMS diamati di antara PS dan/atau pramuria yang menjalani pengobatan
medis, baik melalui rekapitulasi pada sarana kesehatan yang ada maupun
kunjungan pemeriksaan rutin dari panitia pemantau.”
Tempat hiburan di Nabire
diwajibkan memiliki izin. Tapi, apakah praktek pelacuran hanya terjadi di
tempat hiburan yang memiliki izin?
PSK di Papua (siamgate.com) |
Tentu akan lebih mudah
dikontrol kalau semua tempat hiburan yang menyedikan transaksi seks dilokalisir
di sebuah lokasi. Tapi, lagi-lagi moral berbicara: Jika tidak ada lokalisasi
maka daerah itu bersih dari maksiat!
Program ’kondom 100 persen’ di
Nabire pun rupanya bias gender karena hanya menjadikan PSK sebagai ’sasaran
tembak’ yang empuk.
Di pasal 7 ayat 2 disebutkan:
”Pemilik/pengelola tempat hiburan wajib menginformasikan kepada PS yang menjadi
tanggungannya mengenai program pemakaian kondom 100% dan manfaatnya bagi
mereka.”
Padahal, fakta menunjukkan
posisi tawar PSK sangat lemah karena laki-laki ’hidung belang’ akan memakai
tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.
Maka, yang dikhawatirkan adalah
program ’wajib kondom’ ini tidak tepat sasaran karena tempat-tempat yang
menyediakan praktek pelacuran tidak bisa dikontrol satu persatu.
Sanksi yang diberikan, seperti
diatur di pasal 23, yaitu penutupan sementara tempat hiburan perlu dipertegas
misalnya dengan sanksi kurungan.
Satu hal yang luput dari
perhatian tentang keberhasilan progam di Thailand adalah program itu dilakukan
dengan skala nasional. Nah, jika di wilayah Kab Nabire ada wajib kondom
tentulah laki-laki ’hidung belang’ yang enggan pakai kondom akan mencari PSK di
tempat lain yang tidak masuk dalam ketegori perda. Misalnya, di rumah, losmen,
motel, hotel melati atau hotel berbintang.
Selain itu bisa juga mereka
pergi ke luar wilayah Kab Nabire sekedar untuk melepas hasrat seks. Maka, kalau
dilihat secara nasional program kondom di Nabire tidak ada manfaatnya karena di
daerah lain tidak ada kewajiban memakai kondom.
Yang luput dari perhatian adalah:
(1) IMS pada PSK ada
kemungkinan ditularkan oleh laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang.
(2) PSK yang datang ke Nabire
sudah mengidap IMS.
Nah, laki-laki yang menularkan
IMS dan HIV kepada PSK dan laki-laki
yang tertular IMS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS di
masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Kasus
IMS dan HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga merupakan bukti
bahwa ada laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan ada pula yang tertular
IMS dari PSK.
![]() |
Muda-mudi Nabire membawakan tarian Yospan (antarafoto.com) |
Persoalan
kian runyam kalau laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK juga mengidap
HIV/AIDS. Maka, laki-laki ini pun menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat.
Begitu
pula dengan laki-laki yang tertular IMS dari PSK, kalau PSK yang menularkan IMS
itu juga mengidap HIV/AIDS maka laki-laki yang sanggama dengan PSK tanpa kondom
berisiko pula tertular HIV/AIDS.
Sayang, dalam perda tidak ada
mekanisme untuk mendeteksi kasus IMS dan HIV/AIDS di masyarakat. Maka,
kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan
AIDS di Kab Nabire. ***[ AIDS
Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.