Media Watch. Pemkot Surakarta, juga dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, menelurkan Peraturan Walikota Surakarta No. 4-A Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 15 Mei 2008. Peraturan walikota (perwalkot) ini merupakan perwalkot pertama. Sedangkan peraturan daerah (perda) tentang AIDS sudah ada 55, serta satu peraturan gubenur (pergub). Jika diurut, maka Perwalkot Surakarta ini ada di urutan 28 dari peraturan AIDS yang ada di Indonesia.
Ketika perwalkot itu disahkan kasus kumulatif HIV/AIDS
di Kota Solo dilaporkan tahun
2008, tercatat ada 107 kasus penyakit HIV/AIDS (www.solopos.com, 01/12-2010).
Jika
bertolak dari kasus HIV/AIDS yang ada tentulah maksud perwalkot itu untuk
‘menghambat’ penyebaran HIV/AIDS di Kota Solo. Apalagi di Kota Solo dikenal ada
lokalisasi pelacuran Silir.
Kota
Surakarta, yang juga dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, rupanya tidak mau
ketinggalan kereta dalam ‘perlombaan’ membuat peraturan tentang penanggulangan
AIDS. Sama seperti perda-perda lain sebelum dan sesudah peraturan walikota ini
ada ‘nafsu’ dan ‘hasrat’ menanggulangi penyebaran HIV melalui hubungan seksual
berisiko dengan kewajiban memakai kondom.
Celakanya, program yang meniru ke
Thailand itu tidak dipakai utuh, tapi diadopsi dengan setengah hati. Data
KPA menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai April 2011 mencapai 552 dengan
176 kematian. Angka ini menempatkan Surakarta menempati peringakt kedua jumlah
kasus HIV/AIDS se Jawa Tengah.

Terkait
dengan penanggulangan seperti judul peraturan ini di pasal 1 ayat 17
disebutkan: “Penanggulangan adalah upaya-upaya agar tidak terjadi penyebarluasan
HIV-AIDS di masyarakat.”
Celakanya,
tidak ada pasal yang menjelaskan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi
epidemi HIV.
Yang
ada justru pasal yang normatif yaitu di pasal 4 ayat 3 disebutkan:
“Penanggulangan HIV dan AIDS di dasari kepada nilai luhur kemanusiaan dan
penghormatan terhadap harkat hidup manusia.”
Pasal
ini sama sekali tidak memberikan penjelasan tentang cara yang konkret dalam
menanggulangi penyebaran HIV.
Kalau
saja Pemkot Surakarta melihat program di Thailand secara utuh tentulah pasal-pasal
dalam peraturan ini akan realistis. Thailand mengembangkan program ‘wajib
kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan
pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir dengan
skala nasional. Sedangkan di Indonesia program hanya disebutkan secara normatif
di beberapa perda.
Maka,
laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Surakarta, misalnya, yang wajib memakai
kondom jika sanggama dengan PSK tinggal ‘melangkah’ ke daerah lain agar lolos
dari sanksi hukum jika tidak memakai kondom.
Lagi
pula kewajiban memakai kondom dalam peraturan walikota ini pun tidak konkret.
Lihatlah
pasal 8 ayat d: “Pengembangan jejaring dilakukan untuk mendukung pelaksana
kegiatan-kegiatan penggunaan kondom 100% dan alat suntik steril di lingkungan
kelompok perilaku resiko tinggi.”
Pasal
ini tidak jelas tempat yang masuk dalam pasal ini karena risiko tertular HIV
melalui hubungan seksual bisa terjadi di mana saja jika salah satu dari
pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom.
Di
pasal 10 ayat c: “Pemerintah berkewajiban melaksanakan Penanggulangan Infeksi
Menular Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku
beresiko tinggi, termasuk didalamya keharusan penggunaaan kondom 100%.”
Namun,
tidak ada satu pun pasal yang menjelaskan cara pemantauan keharusan memakai
kondom.
Di
pasal 1 ayat 8 disebutkan: “Kelompok resiko tinggi adalah kelompok yang
mempunyai perilaku beresiko tinggi tertular HIV dan AIDS yaitu penjaja seks,
pelanggan penjaja seks, pasangan tetap dari penjaja seks dan pasangan tetapnya,
penyalahgunaan Napsa suntik, narapidana, anak jalanan, laki-laki pelaku
hubungan seks dengan pasangan sejenis, termasuk waria.”
Yang
menjadi persoalan adalah dalam peraturan tidak ada intervensi yang konkret
terhadap ‘kelompok risiko tinggi’ agar tidak terjadi penyebaran HIV.
Yang
ditonjolkan justru kelompok kerja pencegahan. Di pasal 17 ayat b disebutkan:
Tugas Kelompok Kerja Pencegahan meningkatkan penyediaan, pengendalian mutu, dan
pemakaian kondom 100%.”
Tapi,
tidak jelas kaitannya dengan intervensi terhadap kalangan yang perilakunya
berisiko tinggi.
Dalam
tiga pasal di atas sama sekali tidak tergambar cara konkret untuk menerapkan
penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko. Maka, pasal-pasal itu pun
tidak berguna untuk memastikan pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko.
Di
pasal 17 ayat e disebutkan: “Tugas Kelompok Kerja Pencegahan melaksanakan upaya
pencegahan penularan dari ibu pengidap HIV kepada bayinya.” Masalahnya adalah
tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV pdaa perempuan hamil.
Banyak perempuan hamil tidak menyadari dirinya tertular HIV karena mereka
merasa perilakunya tidak berisiko tertular HIV. Malaysia menjalankan survailans
tes HIV rutin terhadap perempuan hamil.
Pada
pasal 12 ayat a disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya
terinfeksi HIV tidak melakukan hubungan seksual secara tidak aman.” Sedangkan
di pasal 12 ayat d disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya
terinfeksi HIV tidak melakukan tindakan apa saja yang patut diketahui dapat
menularkan atau menyebarkan infeksi HIV kepada orang lain baik dengan sengaja
bujuk rayu atau kekerasan.”
Masalahnya
adalah lebih dari 90 persen orang yang terdeteksi HIV tidak menyadari diri
mereka sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas
AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara
5-15 tahun setelah tertular HIV).
Sejak
lokalisasi pelacuran ‘Selir’ ditutup, maka praktek pelacuran tersebar luas.
Akibatnya, dari aspek kesehatan masyarakat kondisi itu meningkatkan risiko
penyebaran IMS dan HIV.
Maka,
peraturan walikota ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait
dengan penyebaran HIV sehingga Pemkot Solo tidak akan bisa menanggulangi
penyebaran HIV. Pemkot Solo tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena penyebaran HIV
terus terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom
waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W.
Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.