29 Agustus 2012

Peraturan Walikota Surakarta (Solo) tentang Penanggulangan HIV dan AIDS


Media Watch. Pemkot Surakarta, juga dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, menelurkan Peraturan Walikota Surakarta No. 4-A Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 15 Mei 2008. Peraturan walikota (perwalkot) ini merupakan perwalkot pertama. Sedangkan peraturan daerah (perda) tentang AIDS sudah ada  55, serta satu peraturan gubenur (pergub). Jika diurut, maka Perwalkot Surakarta ini ada di urutan 28 dari peraturan AIDS yang ada di Indonesia.

Ketika perwalkot itu disahkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Solo dilaporkan tahun 2008, tercatat ada 107 kasus penyakit HIV/AIDS (www.solopos.com,

Jika bertolak dari kasus HIV/AIDS yang ada tentulah maksud perwalkot itu untuk ‘menghambat’ penyebaran HIV/AIDS di Kota Solo. Apalagi di Kota Solo dikenal ada lokalisasi pelacuran Silir.

Kota Surakarta, yang juga dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, rupanya tidak mau ketinggalan kereta dalam ‘perlombaan’ membuat peraturan tentang penanggulangan AIDS. Sama seperti perda-perda lain sebelum dan sesudah peraturan walikota ini ada ‘nafsu’ dan ‘hasrat’ menanggulangi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko dengan kewajiban memakai kondom. 

Celakanya, program yang meniru ke Thailand itu tidak dipakai utuh, tapi diadopsi dengan setengah hati. Data KPA menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai April 2011 mencapai 552 dengan 176 kematian. Angka ini menempatkan Surakarta menempati peringakt kedua jumlah kasus HIV/AIDS se Jawa Tengah.

Terkait dengan penanggulangan seperti judul peraturan ini di pasal 1 ayat 17 disebutkan: “Penanggulangan adalah upaya-upaya agar tidak terjadi penyebarluasan HIV-AIDS di masyarakat.”

Celakanya, tidak ada pasal yang menjelaskan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi epidemi HIV.

Yang ada justru pasal yang normatif yaitu di pasal 4 ayat 3 disebutkan: “Penanggulangan HIV dan AIDS di dasari kepada nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia.”

Pasal ini sama sekali tidak memberikan penjelasan tentang cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV.

Kalau saja Pemkot Surakarta melihat program di Thailand secara utuh tentulah pasal-pasal dalam peraturan ini akan realistis. Thailand mengembangkan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir dengan skala nasional. Sedangkan di Indonesia program hanya disebutkan secara normatif di beberapa perda.

Maka, laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Surakarta, misalnya, yang wajib memakai kondom jika sanggama dengan PSK tinggal ‘melangkah’ ke daerah lain agar lolos dari sanksi hukum jika tidak memakai kondom.

Lagi pula kewajiban memakai kondom dalam peraturan walikota ini pun tidak konkret.

Lihatlah pasal 8 ayat d: “Pengembangan jejaring dilakukan untuk mendukung pelaksana kegiatan-kegiatan penggunaan kondom 100% dan alat suntik steril di lingkungan kelompok perilaku resiko tinggi.”

Pasal ini tidak jelas tempat yang masuk dalam pasal ini karena risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di mana saja jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom.

Di pasal 10 ayat c: “Pemerintah berkewajiban melaksanakan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku beresiko tinggi, termasuk didalamya keharusan penggunaaan kondom 100%.”

Namun, tidak ada satu pun pasal yang menjelaskan cara pemantauan keharusan memakai kondom.

Di pasal 1 ayat 8 disebutkan: “Kelompok resiko tinggi adalah kelompok yang mempunyai perilaku beresiko tinggi tertular HIV dan AIDS yaitu penjaja seks, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap dari penjaja seks dan pasangan tetapnya, penyalahgunaan Napsa suntik, narapidana, anak jalanan, laki-laki pelaku hubungan seks dengan pasangan sejenis, termasuk waria.”

Yang menjadi persoalan adalah dalam peraturan tidak ada intervensi yang konkret terhadap ‘kelompok risiko tinggi’ agar tidak terjadi penyebaran HIV.

Yang ditonjolkan justru kelompok kerja pencegahan. Di pasal 17 ayat b disebutkan: Tugas Kelompok Kerja Pencegahan meningkatkan penyediaan, pengendalian mutu, dan pemakaian kondom 100%.”

Tapi, tidak jelas kaitannya dengan intervensi terhadap kalangan yang perilakunya berisiko tinggi.

Dalam tiga pasal di atas sama sekali tidak tergambar cara konkret untuk menerapkan penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko. Maka, pasal-pasal itu pun tidak berguna untuk memastikan pemakaian kondom pada hubungan seksual berisiko.

Di pasal 17 ayat e disebutkan: “Tugas Kelompok Kerja Pencegahan melaksanakan upaya pencegahan penularan dari ibu pengidap HIV kepada bayinya.” Masalahnya adalah tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV pdaa perempuan hamil. Banyak perempuan hamil tidak menyadari dirinya tertular HIV karena mereka merasa perilakunya tidak berisiko tertular HIV. Malaysia menjalankan survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil.

Pada pasal 12 ayat a disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV tidak melakukan hubungan seksual secara tidak aman.” Sedangkan di pasal 12 ayat d disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV tidak melakukan tindakan apa saja yang patut diketahui dapat menularkan atau menyebarkan infeksi HIV kepada orang lain baik dengan sengaja bujuk rayu atau kekerasan.”

Masalahnya adalah lebih dari 90 persen orang yang terdeteksi HIV tidak menyadari diri mereka sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Sejak lokalisasi pelacuran ‘Selir’ ditutup, maka praktek pelacuran tersebar luas. Akibatnya, dari aspek kesehatan masyarakat kondisi itu meningkatkan risiko penyebaran IMS dan HIV.

Maka, peraturan walikota ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penyebaran HIV sehingga Pemkot Solo tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV. Pemkot Solo tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena penyebaran HIV terus terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.