Pelacuran atau prostitus dikabarkan
merupakan salah satu pekerjaan yang disebut-sebut seumur peradaban manusia.
Pelacuran melibatkan pelacur, disebut sebagai pekerja
seks komersial (PSK), yang meladeni hubungan seksual dengan laki-laki ‘hidung
belang’ dengan imbalan uang.
Celakanya, yang jadi sasaran tembak, yang dihujat, dan
yang disalahkan hanya PSK. Padahal, tanpa ada laki-laki ‘hidung belang’ yang
‘membeli’ seks kepada PSK tidak akan pernah terjadi pelacuran.
Pelacuran
di berbagai daerah di Indonesia berkembang dengan riwayat tersendiri. Di Kota
Surakarta, yang lebih dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, misalnya,
pelacuran dilokalisir di Lokalisasi Silir, Semanggi. Lokalisasi ini ‘resmi’
sebagai tempat pelacuran sejak tahun 1953. Belakangan terjadi penolakan
terhadap Silir, tapi akhirnya tahun 1961 Silir ditetapkan sebagai lokasi
pelacuran dengan harapan mengurangi pelacuran di berbagai tempat dan memudahkan
pengawasan dan pengendalian.
Di
masa Orde Baru kegiatan pelacuran di lokalisir sebagai bentuk resosialisasi dan
rehabilitasi PSK melalui berbagai program yang dijalankan oleh departemen
sosial melalui jajarannya di daerah. Sayang, program ini tidak berhasil karena
tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan
Rehabilitasi Pelacur(an)
- http://www.aidsindonesia.com/p/wawancara.html).
Seiring
dengan reformasi mulai muncul penolakan terhadap lokalisasi pelacuran. Ada yang
menutup paksa dengan dukungan ormas, tapi ada pula yang mengatasinya melalui
peraturan daerah (perda).
Kota
Surakarta, misalnya, menerbitkan Peraturan Daerah Tingkat II Surakarta No. 1
tahun 1975 tentang Pemberantasan Tuna Susila. Ini awal mula penutupan Silir.
Tapi,
apakah penutupan Silir itu menghentikan kegiatan pelacuran di Kota Solo?
Ternyata
tidak. Karena penutupan dengan bekal perda itu hanya kebanggaan semu karena kenyataannya praktek pelacuran tetap saja
terjadi di setiap waktu dan di banyak tempat.
Pemkot Solo pun berbinar-binar
karena tidak ada lagi PSK yang kasat mata melakukan praktek pelacuran di
lokalisasi (Silir).
Tapi, apa yang terjadi? Sejak
lokalisasi Silir, Semanggi, Solo ditutup aktivitas pelacuran di Kota Solo dikabarkan
merajalela dalam berbagai bentuk. Maka, ada kalangan yang justru meminta Pemkot
Solo untuk melokalisir pelacuran.
Satu hal yang perlu
diperhatikan adalah tidak ada negara di dunia ini yang melegalkan pelacuran.
Yang ada adalah meregulasi yaitu dengan membuat lokalisasi.
Selain di tempat-tempat
tertutup, seperti penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang praktek
pelacuran di Solo berkembng di tiga lokasi, yaitu: Kestalan, Gilingan (Kec
Banjarsari) dan Kerten (Laweyan). Diperkirakan 1.300 PSK beropeasi di lokasi
pelacuran itu.
Menutup Silir sebagai
lokalisasi pelacuran ternyata bukan solusi tepat untuk memberantas pelacuran
karena praktek pelacuran terjadi di sembaran tempat dan sembarang waktu dengan
berbagai bentu, seperti mangkal dijalanan, dipesan melalui karyawan penginapan,
losmen, hotel melati dan hotel berbintang, juga terjadi di sebagian panti pijat
dan salon.
Di banyak daerah yang sudah
menutup lokaliasi, seperti Kramat Tunggak di Jakarta, Saritem di Bandung, dll.
tidak otomatis menghapus pelacuran. Tapi, petinggi di daerah, pemuka agama dan
masyarakat tetap ngotot bahwa membasmi pelacuran adalah dengan menutup
lokalisasi. Pemprov Jawa Timur bahkan sudah menetapkan tahun 2016 daerah itu
bebas lokalisasi .
Pertanyaan untuk Pemprov Jatim:
1). Apakah Pemprov Jawa Timur
bisa menjamin tidak ada lagi praktek pelacuran di Jawa Timur?
2). Apakah Pemprov Jawa Timur
bisa menjamin tdak akan ada laki-laki dewasa penduduk Jawa Timur, asli atau
pendatang, yang akan melacur di luar Jawa Timur atau di luar negeri?
Yang
jadi masalah besar adalah lokalisasi pelacuran selalu dikaitkan dengan
penyebaran HIV/AIDS. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Solo dikabarkan 742.
Padahal, ada fakta yang digelapkan terkait dengan penyebaran HIV pada
pelacuran, yaitu:
Pertama, ada kemungkinan
yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK yang beroperasi di Solo adalah laki-laki
dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Dalam hal ini laki-laki dewasa
penduduk Solo. Di masyarakat laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK ini bisa
sebagai seorang suami, pacar atau selingkuhan. Mereka inilah yang menyebarkan
HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, ada
kemungkinan PSK yang beroperasi di Solo tertular HIV di luar Solo. Tapi,
laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK berisiko
tertular HIV. Di masyarakat laki-laki tertular
HIV dari PSK bisa sebagai seorang suami, pacar atau selingkuhan. Mereka kemudian
menyebarkan HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pemkot
Solo hanya melihat tidak ada (lagi) praktek
pelacuran bisa melibatkan PSK langsung, seperti yang terlihat di tiga lokasi
tadi.
Tapi, perlu diingat ada pula
PSK tidak langsung, seperti (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek
pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, perempuan pemijat, karyawan slaon,
dll.). Mereka ini ’praktek’ secara terselubung dengan berbagai macam modus
operasi.
Maka, biar pun Pemkot Solo
mengatakan bisa mengendalikan pelacuran itu hanya terjadi pada PSK langsung di
lokasi pelacuran. Tapi, untuk mengawasi PSK tidak langsung adalah hal yang
mustahil bagi Pemkot Solo untuk mengawasi pergerakan mereka. Jangan heran kalau
kemudian penyebaran HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dan Denpasar, Bali, dikabarkan
ddorong oleh oleh PSK tidak langsung.
Lalu, bagaimana, sih, cara
mengawasi pergerakan PSK? Ya, tidak ada cara lain selain melokalisir pelacuran.
Thailand, misalnya, berhasil menekan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
dewasa melalui hubungan seksual di lokalisasi pelacuran melalui program ’wajib
kondom 100 persen’.
Celakanya, di Indonesia tidak
ada lokalisasi yang merupakan regulasi. Maka, praktek pelacuran pun terjadi di
berbagai tempat tanpa bisa dimonitor.
Tanpa ada lokalisasi tentulah
tidak mudah mengawasi PSK. Celakanya, banyak kalangan yang hanya ‘menembak’ PSK
sebagai ‘kambing hitam’ penyebaran HIV/AIDS tanpa memperhatikan perilaku
seksual laki-laki dewasa penduduk Kota Solo: Apakah tidak ada laki-laki dewasa
penduduk Kota Solo yang melacur tanpa kondom di Kota Solo atau di luar Kota
Solo?
Kalau jawabannya ADA, maka ada
persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of
transmission) hubungan seksual tanpa kondom cara horizontal antar penduduk.
Kasus HIV/AIDS di Solo mulai
terdeteksi pada ibu rumah tangga dan bayi. Ini membuktikan suami-suami mereka tidak
memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain, seperti
dengan PSK langsung atau tidak langsung.
Maka, kuncinya bukan pada
pelacuran, tapi pada laki-laki ’hidung belang’: Selama ada laki-laki dewasa
penduduk Kota Solo yang melacur dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung
tanpa kondom, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di
Kota Solo. Pada akhirnya kelak akan terjadi ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.