29 Agustus 2012

Penutupan ‘Silir’: Apakah (Bisa) Menghapus Pelacuran di Kota Solo?


Pelacuran atau prostitus dikabarkan merupakan salah satu pekerjaan yang disebut-sebut seumur peradaban manusia. Pelacuran melibatkan pelacur, disebut sebagai pekerja seks komersial (PSK), yang meladeni hubungan seksual dengan laki-laki ‘hidung belang’ dengan imbalan uang.

Celakanya, yang jadi sasaran tembak, yang dihujat, dan yang disalahkan hanya PSK. Padahal, tanpa ada laki-laki ‘hidung belang’ yang ‘membeli’ seks kepada PSK tidak akan pernah terjadi pelacuran.

Pelacuran di berbagai daerah di Indonesia berkembang dengan riwayat tersendiri. Di Kota Surakarta, yang lebih dikenal sebagai Kota Solo, Jawa Tengah, misalnya, pelacuran dilokalisir di Lokalisasi Silir, Semanggi. Lokalisasi ini ‘resmi’ sebagai tempat pelacuran sejak tahun 1953. Belakangan terjadi penolakan terhadap Silir, tapi akhirnya tahun 1961 Silir ditetapkan sebagai lokasi pelacuran dengan harapan mengurangi pelacuran di berbagai tempat dan memudahkan pengawasan dan pengendalian.

Di masa Orde Baru kegiatan pelacuran di lokalisir sebagai bentuk resosialisasi dan rehabilitasi PSK melalui berbagai program yang dijalankan oleh departemen sosial melalui jajarannya di daerah. Sayang, program ini tidak berhasil karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) - http://www.aidsindonesia.com/p/wawancara.html).  


Seiring dengan reformasi mulai muncul penolakan terhadap lokalisasi pelacuran. Ada yang menutup paksa dengan dukungan ormas, tapi ada pula yang mengatasinya melalui peraturan daerah (perda).

Kota Surakarta, misalnya, menerbitkan Peraturan Daerah Tingkat II Surakarta No. 1 tahun 1975 tentang Pemberantasan Tuna Susila. Ini awal mula penutupan Silir.

Tapi, apakah penutupan Silir itu menghentikan kegiatan pelacuran di Kota Solo?

Ternyata tidak. Karena penutupan dengan bekal perda itu hanya kebanggaan semu karena kenyataannya praktek pelacuran tetap saja terjadi di setiap waktu dan di banyak tempat.

Pemkot Solo pun berbinar-binar karena tidak ada lagi PSK yang kasat mata melakukan praktek pelacuran di lokalisasi (Silir).

Tapi, apa yang terjadi? Sejak lokalisasi Silir, Semanggi, Solo ditutup aktivitas pelacuran di Kota Solo dikabarkan merajalela dalam berbagai bentuk. Maka, ada kalangan yang justru meminta Pemkot Solo untuk melokalisir pelacuran.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah tidak ada negara di dunia ini yang melegalkan pelacuran. Yang ada adalah meregulasi yaitu dengan membuat lokalisasi.

Selain di tempat-tempat tertutup, seperti penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang praktek pelacuran di Solo berkembng di tiga lokasi, yaitu: Kestalan, Gilingan (Kec Banjarsari) dan Kerten (Laweyan). Diperkirakan 1.300 PSK beropeasi di lokasi pelacuran itu.

Menutup Silir sebagai lokalisasi pelacuran ternyata bukan solusi tepat untuk memberantas pelacuran karena praktek pelacuran terjadi di sembaran tempat dan sembarang waktu dengan berbagai bentu, seperti mangkal dijalanan, dipesan melalui karyawan penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, juga terjadi di sebagian panti pijat dan salon.

Di banyak daerah yang sudah menutup lokaliasi, seperti Kramat Tunggak di Jakarta, Saritem di Bandung, dll. tidak otomatis menghapus pelacuran. Tapi, petinggi di daerah, pemuka agama dan masyarakat tetap ngotot bahwa membasmi pelacuran adalah dengan menutup lokalisasi. Pemprov Jawa Timur bahkan sudah menetapkan tahun 2016 daerah itu bebas lokalisasi .

Pertanyaan untuk Pemprov Jatim:

1). Apakah Pemprov Jawa Timur bisa menjamin tidak ada lagi praktek pelacuran di Jawa Timur?

2). Apakah Pemprov Jawa Timur bisa menjamin tdak akan ada laki-laki dewasa penduduk Jawa Timur, asli atau pendatang, yang akan melacur di luar Jawa Timur atau di luar negeri?

Yang jadi masalah besar adalah lokalisasi pelacuran selalu dikaitkan dengan penyebaran HIV/AIDS. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Solo dikabarkan 742. Padahal, ada fakta yang digelapkan terkait dengan penyebaran HIV pada pelacuran, yaitu:

Pertama, ada kemungkinan yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK yang beroperasi di Solo adalah laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Dalam hal ini laki-laki dewasa penduduk Solo. Di masyarakat laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK ini bisa sebagai seorang suami, pacar atau selingkuhan. Mereka inilah yang menyebarkan HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Solo tertular HIV di luar Solo. Tapi, laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV.  Di masyarakat laki-laki tertular HIV dari PSK bisa sebagai seorang suami, pacar atau selingkuhan. Mereka kemudian menyebarkan HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Pemkot Solo hanya melihat tidak ada (lagi) praktek pelacuran bisa melibatkan PSK langsung, seperti yang terlihat di tiga lokasi tadi.

Tapi, perlu diingat ada pula PSK tidak langsung, seperti (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, perempuan pemijat, karyawan slaon, dll.). Mereka ini ’praktek’ secara terselubung dengan berbagai macam modus operasi.

Maka, biar pun Pemkot Solo mengatakan bisa mengendalikan pelacuran itu hanya terjadi pada PSK langsung di lokasi pelacuran. Tapi, untuk mengawasi PSK tidak langsung adalah hal yang mustahil bagi Pemkot Solo untuk mengawasi pergerakan mereka. Jangan heran kalau kemudian penyebaran HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dan Denpasar, Bali, dikabarkan ddorong oleh oleh PSK tidak langsung.

Lalu, bagaimana, sih, cara mengawasi pergerakan PSK? Ya, tidak ada cara lain selain melokalisir pelacuran. Thailand, misalnya, berhasil menekan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual di lokalisasi pelacuran melalui program ’wajib kondom 100 persen’.

Celakanya, di Indonesia tidak ada lokalisasi yang merupakan regulasi. Maka, praktek pelacuran pun terjadi di berbagai tempat tanpa bisa dimonitor.

Tanpa ada lokalisasi tentulah tidak mudah mengawasi PSK. Celakanya, banyak kalangan yang hanya ‘menembak’ PSK sebagai ‘kambing hitam’ penyebaran HIV/AIDS tanpa memperhatikan perilaku seksual laki-laki dewasa penduduk Kota Solo: Apakah tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Solo yang melacur tanpa kondom di Kota Solo atau di luar Kota Solo?

Kalau jawabannya ADA, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual tanpa kondom cara horizontal antar penduduk.

Kasus HIV/AIDS di Solo mulai terdeteksi pada ibu rumah tangga dan bayi. Ini membuktikan suami-suami mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain, seperti dengan PSK langsung atau tidak langsung.

Maka, kuncinya bukan pada pelacuran, tapi pada laki-laki ’hidung belang’: Selama ada laki-laki dewasa penduduk Kota Solo yang melacur dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung tanpa kondom, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Solo. Pada akhirnya kelak akan terjadi ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.