Tanggapan Berita. “Lembaga
pendamping pekerja seks komersial di Semarang, Griya ASA PKBI, memastikan
jumlah pekerja seks yang terindikasi mengidap HIV/AIDS di kota itu hampir 2.000
orang. Mereka tersebar di beberapa lokalisasi, terutama di Sunan Kuning.” Ini lead pada berita “2.000 Pelacur Semarang
Terindikasi HIV/AIDS” (www.tempo.co, 26/8-2012).
Angka
itu amat fantastis. Bayangkan,2.000 pekerja seks komersial (PSK) mengidap
HIV/AIDS. Angka yang tidak kecil karena kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota
Semarang yang dilaporkan (2011) tahun 2011
adalah 409 HIV dan 49 AIDS.
Sayang,
dalam berita tidak dijelaskan bagaimana angka itu diperoleh: Apakah melalui
survailans (tes HIV terhadap semua PSK tanpa identitas dan hasil tes tidak
dikonfirmasi dengan tes lain) atau tes HIV.
Jika
angka 2.000 diperoleh dari survailans pun ada masalah besar karena ada di
antara 2.000 PSK itu yang benar-benar mengidap HIV/AIDS.
Apakah
2.000 PSK itu mengetahui mereka mengidap HIV/AIDS?
Maka,
jika setiap malam seorang PSK melayani dua laki-laki saja, maka tiap malam ada
4.000 laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Dalam
berita pun tidak ada penjelasan bagaimana 2.000 PSK yang mengidap HIV/AIDS itu
meladeni laki-laki: Apakah 2.000 PSK hanya meladeni laki-laki yang memakai
kondom?
Kalau
2.000 PSK itu hanya meladeni laki-laki yang memakai kondom, maka risiko penularan
HIV bisa ditekan sampai nol persen. Tapi, kalau 2.000 PSK itu meladeni
laki-laki yang tidak memakai kondom, maka ada risiko penyebaran HIV dari PSK ke
laki-laki yang melacur dengan mereka.
Laki-laki
yang melacur itu dalah kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar atau
selingkuhan. Maka, laki-laki yang tertular HIV/AIDS akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Setelah libur di bulan puasa, pelacuran di Sunan Kuning kembali berdenyut. Menurut Ketua Resosialisasi Sunan Kuning, Semarang, Suwandi, pihaknya akan mendata ulang untuk memastikan jumlah penghuni lokalisasi. Pendataan ulang dilakukan karena biasanya setelah lebaran ada ‘pendatang baru’.
Disebutkan:
“Juga akan ada pemeriksaan kesehatan (maksudnya terhadap PSK-pen.)”
Kesehatan
yang diperiksa adalah IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO,
hepatitis B, dll.). Sedangkan untuk tes HIV tidak bisa dilakukan secara akurat
karena bisa saja PSK ketika tiba di Sunan Kuning berada pada masa jendela
(tertular di bawah tiga bulan).
Koordinator
Griya ASA, Ari Istiadi, menepis kekhawatiran kalau ribuan pelacur di Semarang
menyebarkan virus HIV/AIDS selama mudik Lebaran kemarin. “Mereka punya etika,”
kata Ari.
Ari
rupanya khilaf kalau PSK itu ada yang mempunyai suami dan pacar (dikenal dengan
sebutan kiwir-kiwir). Mereka tidak menularkan HIV/AIDS, tapi mereka melakukan
hubungan seksual sebagai istri, pacar atau pasangan.
Menurut
Ari: “Tidak mungkin kalau mereka buka praktek dan menerima tamu di kampung
mereka masing-masing.” Ini asumsi Ari.
Apakah
Ari bisa menjamin semua PSK tidak akan pernah melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan pasangan atau laki-laki selama mereka liburan?
PSK yang mudik dikhawatirkan menyebarkan HIV/AIDS karena di antara mereka ada yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS. Sayangnya, pemerintah kota atau kabupaten yang menjadi daerah asal PSK tidak melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi kemungkinan penyebaran HIV melalui PSK yang mudik lebaran (Lihat: PSK Mudik Lebaran: Ada yang Bawa AIDS sebagai Oleh-oleh - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/psk-mudik-lebaran-ada-yang-bawa-aids.html).
Masih
menurut Ari, para pekerja seks komersial di Semarang sudah makin sadar akan
pentingnya kesehatan.
Persoalannya
adalah: Apakah PSK di Sunan Kuning bisa menolak laki-laki yang tidak mau
memakai kondom?
Tidak
ada penjelasan bagaimana program kondom ditegakkan di Sunan Kuning.
Apakah
ada program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika sanggama degnan PSK
yang diatur melalui regulasi peraturan?
Kalau
tidak ada, maka pemakaian kondom pada laki-laki tidak bisa dijamin sehingga
risiko penularan HIV akan terus terjadi, yaitu melalui hubungan seksual dari
laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.
Kalau
Sunan Kuning dan lokalisasi pelacuran lain di Semarang merupakan bagian dari
regulasi, maka perlu diterapkan program yang konkret agar penyebaran HIV bisa
ditekan. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan di kota semarang dan sekitarnya, ODHA PSK tidak seluruhnya patuh menggunakan kondom (risiko tinggi menularkan HIV). memang benar mereka selalu menawarkan kondom kepada tamu nya, namun jika tamu menolak, tidak semua ODHA PSK mampu mengatakan no condom no sex. bahkan dari temuan saya, jika tamu bermain terlalu lama dengan menggunakan kondom, PSK sendiri yg akhirnya melepas kondom tersebut dg alasan cape'. Menurut saya, kesadaran akan kesehatan pada PSK dan para pelanggannya masih sangat rendah. Selain itu, ketidakpatuhan penggunaan kondom ini jg sangat dipengaruhi oleh kemampuan bargaining kondom pada PSK yang rendah dan dukungan pelanggan yang rendah pula.
BalasHapus