Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS NTT
Catatan: Tulisan ini dimuat sebagai artikel Opini di Harian “Pos Kupang”, 21 Agustus 2008.
Catatan: Tulisan ini dimuat sebagai artikel Opini di Harian “Pos Kupang”, 21 Agustus 2008.
SAMPAI Juni 2008
kasus HIV/AIDS di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan 378 kasus, 103
orang di antaranya telah meninggal dunia. Angka ini hanya bagian kecil dari
kasus yang sebenarnya di masyarakat. Pemprop NTT menelurkan Perda No. 3/2007
tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Apakah perda ini efektif
menanggulangi epidemi HIV di NTT?
Kasus AIDS yang
terdeteksi pada seorang wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987)
dijadikan pemerintah sebagai kasus pertama di Indonesia. Padahal, jauh
sebelumnya ada kasus AIDS di Jakarta tapi pemerintah menyebutnya sebagai ARC
(AIDS related complex). Selain itu tahun 1988 ada seorang penduduk Indonesia
asli yang juga meninggal di Bali dengan indikasi terkait AIDS.
Penetapan kasus
pertama ini mengadung mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS. Soalnya,
sejak kasus AIDS dipublikasikan, bahkan sampai sekarang, ada anggapan bahwa
HIV/AIDS penyakit orang bule. Kemudian AIDS terjadi pada kalangan homoseksual.
Dua mitos inilah antara lain yang membuat banyak orang terlena sehingga kasus
HIV/AIDS terus bertambah di negeri ini.
Aturan Normatif
Soalnya, banyak
orang merasa dirinya bukan bule dan tidak pula gay. Akibatnya, banyak orang
yang merasa aman melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perilaku
berisiko inilah yang memicu penyebaran HIV di Indonesia. Maka, tidak
mengherankan kalau laju epidemi kasus HIV/AIDS di Indoensia tercepat di Asia.
Dalam perda di
pasal 4 ayat 1 memang disebutkan salah satu upaya pencegahan melalui kegiatan
promosi yang meliputi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi). Persoalannya,
adalah: Apakah materi KIE itu benar-benar berisi fakta medis tentang HIV/AIDS?
Soalnya, selama ini materi KIE banyak yang hanya mengandung mitos karena
dibalut dengan norma, moral, dan agama.
Pada pasal 4 ayat
1 disebutkan “… dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih dan
sehat.” Ini sangat normatif. Apa ukuran ’sikap dan perilaku hidup bersih dan
sehat’ yang bisa mencegah HIV? Selain itu hal ini pun mendorong stigmatisasi
(pemberian cap buruk) dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS)
karena ada kesan Odha tertular HIV karena tidak bersikap dan berperilaku hidup
bersih dan sehat.
Dari aspek medis
tidak ada kaitan langsung antara ’sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat’
dengan penularan HIV. Sebagai virus dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV
terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki,
dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI
(perempuan).
Maka, penularan
HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam
tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur,
jarum tato, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.
Penularan HIV
melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan
vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh pada saat terjadi hubungan seks
tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Sedangkan penularan melalui ASI bisa
terjadi kalau ASI yang mengandung HVI masuk ke dalam tubuh pada proses
menyusui.
Yang menjadi
persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan justru terjadi tanpa
disadari. Hal ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya
sudah tertular HIV. Orang-orang yang sudah tertular HIV tidak otomatis menunjukkan
tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS
(secara statistic antara 5-10 tahun setelah tertular). Pada rentang waktu
inilah terjadi penularan melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah, transfusi darah yang tidak diskrining, jarum suntik, jarum tindik,
jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh.
Mata Rantai
Maka, kewajiban
pada pasal 8 ayat 6 dan 7 serta larangan pada pasal 9 ayat 2 yang ditujukan
kepada orang yang mengetahui dirinya sudah tertular HIV tidak efektif. Fakta
menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif melalui prosedur tes HIV
yang baku menyatakan sikap bahwa mereka akan memutus mata rantai penyebaran HIV
mulai dari dirinya.
Yang menjadi
persoalan besar justru orang-orang yang sudah tertular HIV tapi belum atau
tidak terdeteksi sehingga tanpa sadar mereka menularkan HIV kepada orang lain.
Inilah mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Lalu, bagaimana
memutus mata rantai penyebaran HIV antar penduduk? Pada pasal 4 ayat f sudah
ada ‘pintu’, tapi tidak jelas siapa saja yang dianjurkan melakukan tes HIV
secara sukarela (VCT). Selama ini yang menjadi ’sasaran tembak’ untuk
survailans tes HIV adalah PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK adalah
laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar,
lajang, remaja, duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar,
mahasiswa, pengangguran, tani, nelayan, pedagang, perampok, dll. Fakta inilah
yang tidak pernah muncul sehingga PSK dicaci-maki sebagai penyebar HIV. Yang
menjadi mata rantai bukan PSK tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan
laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK.
Nah, yang
dianjurkan ke VCT adalah laki-laki dan perempuan yang pernah melakukan hubungan
seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang
berganti-ganti atau yang pernah melakukan melakukan hubungan seks tanpa kondom
di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti PSK.
Tapi, perda ini
lagi-lagi mengedepankan moral untuk mengajak masyarakat dalam menanggulangi
HIV/AIDS. Di pasal 11, misalnya, pada ayat 1 disebutkan peran serta masyarakat
dalam menanggulangi HIV/AIDS dengan (a) berperilaku hidup sehat, dan (b)
meningkatkan ketahanan keluarga. Ini norma dan moral. Apa yang dimaksud dengan
perilaku hidup sehat dan ketahanan keluarga? Di Malaysia ada seorang ibu rumah
tangga guru mengaji yang tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit
pemerintah. Ibu ini menggugat pemerintah 1 juta ringgit (Rp 2,5 miliar).
HIV/AIDS adalah
fakta medis sehingga upaya penanggulangannya pun dapat dilakukan dengan
cara-cara yang sangat rasional tanpa harus dibumbui dengan norma, moral, dan
agama. Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah
adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang yang
HIV-positif. Ini fakta. Karena kita tidak bisa mengenali orang yang sudah
tertular HIV dari fisiknya maka jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di
luar nikah, dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya hindarkan
pergesekan langsung antara penis dan vagina. Semakin banyak kasus HIV yang
terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***[AIDS Watch Indonesia]***
*Pemerhati
HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ‘InfoKespro’, Jakarta.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusCATATAN HUKUM ATAS PERDA PROV NTT - HIVAIDS
HapusDalam konsiderans Perda Prov. NTT No. 3 Tahun 2007 disebutkan bahwa: a. bahwa Human Immunodeficiency Virus (HIV), penyebab Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah virus perusak sistem kekebalan tubuh manusia yang proses penularannya sulit dipantau, meningkat secara signifikan dan tidak mengenal batas wilayah, usia, status sosial dan jenis kelamin; b. bahwa dalam konteks wilayah Nusa Tenggara Timur, perkembangan penyebaran HIV/AIDS semakin mengkhawatirkan dari tahun ke tahun, sehingga dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat dan kelangsungan kehidupan manusia; c. bahwa penularan HIV/AIDS mempunyai implikasi terhadap kesehatan, politik, ekonomi, sosial budaya, etika, agama dan hukum, sehingga memerlukan penanggulangan secara melembaga, sistematis, menyeluruh, terpadu, partisipatif dan berkesinambungan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS; (Catatan: Pertama, Bahwa Dalam lampiran B. PEMBUKAAN UU No. 10 Tahun 2004, khususnya Poin B.3. KONSIDERANS angka 16 menyebutkan bahwa Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. Poin B.3. KONSIDERANS angka 17 menyebutkan Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Poin B.3. KONSIDERANS angka 18 menyebutkan Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. Kedua, Bahwa Dalam Konsideran Perda Prov. NTT No. 3 Tahun 2007, hanya terdapat alasan sosiologis sedangkan alasan filosofis dan yuridis tidak dimasukan. Ketiga, Bahwa dengan demikian Rumusan konsiderans Perda Prov. NTT No. 3 Tahun 2007 bertentangan dengan amanat yang terdapat dalam lampiran B. PEMBUKAAN UU No. 10 Tahun 2004, khususnya Poin B.3. KONSIDERANS angka 18 menyebutkan Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya). (SELENGKAPNYA LIHAT: http://www.paulsinlaeloe.blogspot.com/2012/12/menggugat-perda-prov-ntt-nomor-3-tahun.html) .....
SEMOGA TULISAN INI BERMANFAAT BAGI KAWAN-KAWAN "JOTHI" YANG LAGI BERJUANG UNTUK MEREVISI PERDA PROV. NTT TERKAIT HIV/AIDS..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus