23 Agustus 2012

Mengapa Stok Darah di PMI Bisa “Habis”?


* Korban kecelakaan pada arus mudik dan balik lebaran memerlukan transfusi darah

Tanggapan Berita. Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan: “Palang Merah Indonesia (PMI) khususnya Cabang Jakarta mengalami defisit stok darah karena berkurangnya pendonor selama bulan puasa.” Ini lead pada berita “Menko Kesra: PMI Defisit Stok Darah” (antara, 23/8-2012).

Persediaan darah sangat diperlukan pada masa-masa mudik lebaran karena terkait dengan kebutuhan transfusi darah untuk korban kecelakaan lalu lintas. Laporan polisi menyebutkan sampai H+2 lebaran sudah terjadi 3.927 kecelakan yang merenggut 686 nyawa, mengakibatkan 1.093 luka berat dan 3.750 luka ringan (detikNews.com, 23/8-2012).

Sebagian dari korban, terutama yang luka berat, mereka memerlukan transfusi darah. Jika persediaan darah tidak ada tentulah masalah besar bagi korban.

Kondisi persediaan darah di bank darah PMI tsb. merupakan ironi karena secara teoritis persediaan darah di unit-unit transfusi darah (UTD) PMI tidak akan pernah habis kalau filosofi transfusi diberlakukan secara konsekuen.

Transfusi darah adalah kegiatan kemanusiaan sebagai bagian dari kebersamaan dalam ranah sosial. Maka, jika seseorang memerlukan darah bisa diperoleh di UTD PMI atau bank darah di rumah-rumah sakit, tapi dengan filosofi ‘darah diganti dengan darah’.

Itulah landasan transfusi. Artinya, kalau ada yang mengambil darah ke PMI maka dia harus menggantinya dengan darah. Bisa darah anggota keluarga atau kerabat. Misalnya, seseorang mengambil tiga kantong darah maka dia harus membawa tiga donor untuk mengganti darah yang diambil.

Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Darah ’dibeli’ atau bahasa halusnya diganti dengan uang. Ini tentu saja sama saja dengan jual-beli darah.

PMI pun ’pasang badan’. Uang yang dibayarkan ke PMI disebut sebagai biaya atau ongkos produksi, al. biaya administrasi, skirining atau uji saring darah (tes berbagai penyakit), pembelian kantong darah, dll.

Disebutkan oleh Agung Laksono: "Jika pada bulan-bulan sebelumnya mampu mengumpulkan 1.000 kantong darah per hari, pada bulan puasa lalu hanya sekitar 300 kantong darah per hari."

Tapi, kalau  PMI menerapkan filosofi transfusi darah secara konsekuen dan konsisten, maka persediaan darah di PMI tidak akan habis atau menipis karena darah diganti dengan darah.

Terkadang ada keluhan yang datang ke PMI untuk ’membeli’ darah ’dipaksa’ membawa donor. Tapi, apakah ini diberlakuka secara adil terhadap semua yang mengambil darah ke PMI?

Sudah rahasia umum rumah-rumah sakit swasta hanya menyuruh kurir mengambil darah ke PMI dengan membawa ongkos produksi. Sedangkan keluarga pasien dari rumah-rumah sakit pemerintah ’dipaksa’ membawa donor pengganti.

Untuk urusan kemanusiaan pun kita tidak bisa konsekuen dan konsisten. Kewajiban darah diganti darah tidak berlaku umum. Ini salah satu bentuk diskriminasi.

Maka, tidak heran kalau kemudian ada ‘sindikat’ penyedia donor darah dengan imbalan uang.

Dari satu sisi sindikat itu membantu, tapi jika di sisi lain amat riskan jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS. Soalnya, perilaku, terutama yang terkait dengan seks, ‘donor bayaran’ itu tidak diketahui sehingga ada kemungkinan mereka dari kalangan yang perilakunya berisiko tertular HIV. Misalnya, penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya), laki-laki ‘hidung belang’ atau pekerja seks komersial (PSK) serta waria.

Dulu sebelum narapidana (napi) dan tahanan banyak dari kalangan penyalahguna narkoba, napi dan tahanan ‘dipaksa’ jadi donor darah. Bagi napi menjadi donor membawa untung karena bisa jadi pertimbangan untuk memperoleh remis (pengurangan masa hukuman).

Darah napi dan tahanan memang menjalani uji saring darah, terutama terhadap HIV, tapi skrining HIV di PMI dilakukan dengan reagen ELISA maka ada kemungkinan hasil uji saring negatif palsu. Artinya, hasil uji saring nonreakti atau negatif tapi HIV sudah ada dalam darah. Ini terjadi karena reagen ELISA tidak bisa mendeteksi antibody HIV dalam darah pada masa jendela yaitu HIV berada di dalam darah di bawah tiga bulan.

Uji saring dengan hasil negatif palsu bisa mencelakai karena darah yang ditransfusikan itu sebenarnya mengandung HIV/AIDS.

Untuk menurunkan risiko negatif palsu PMI bisa menerapkan ’tes awal’ kepada calon donor. Ini dilakukan untuk menghindari masa jendela.

Misalnya, calon donor ditanya: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berhganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK atau waira?

Kalau jawabannya di bawah tiga bulan, maka donor ditolak karena hasil skrining darah bisa negatif palsu.

Uji saring darah sangat penting karena terkait dengan risiko penularan HIV. Pemerintah Malaysia, misalnya, terpaksa membayar RM 100 juta kepada seorang perempuan guru mengaji yang tertular HIV dari transfusi di rumah sakit kerajaan.

Untuk menghindari kejadian serupa Malaysia menerapkan standar ISO untuk laboratorium transfusi (Lihat: Hak Bebas HIV melalui Transfusi Darah - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/hak-bebas-hiv-melalui-transfusi-darah.html). 


Apakah PMI sudah mempunyai standar baku sekelas ISO?

Maka, dihimbau agar yang merasa dirinya bersh dan suci bersedia dengan sukarela menjadi donor tetap agar masyarakat terhindar dari risiko tertular HIV. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.