27 Agustus 2012

Kondom di Papua: Antara Penanggulangan AIDS, Tingkat Kelahiran, dan Seks Ritual Adat


* Penanggulangan HIV/AIDS di Papua memilih sunat daripada kondom

Liputan. Kasus kumulatif HIV/ADS di Prov Papua dilaporkan 12.187. Tapi, dengan jumlah kasus kumulatif HIV/ADS sebesar itu ternyata Pemprov Papua sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di Bumi Cenderawasih itu.

Padahal, tanpa langkah yang konkret, maka Pemprov Papua tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen (kasus) AIDS’. Soalnya, penyebaran HIV di secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terus terjadi karena tidak ada intervensi yang konkret untuk meredam penyebaran HIV.

“ATM Kondom”

Kondisinya kian runyam karena insiden infeksi HIV baru, terutama melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di tempat-tempat hiburan terus terjadi.

Celakanya, seperti di Kab Merauke yang dipenjarakan justru PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, al. sifilis, GO, hepatitis B, dll.) dengan alasan mereka meladeni hubungan seksual dengan laki-laki tanpa kondom.

Boleh-boleh saja, tapi tanpa disadari oleh KPA Kab Merauke ada dua hal yang luput dari perhatian, yaitu:

Pertama, ada kemungkinan yang menularkan IMS kepada PSK itu adalah laki-laki lokal, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan. Maka, selain menularkan IMS kepada PSK mereka juga menularkan IMS kepada istri, pacar atau selingkuhannya.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu sudah tertular di luar Merauke. Maka, laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular IMS. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang berisiko tertular IMS itu bisa sebagai seorang suami, pacar, atau selingkuhan. Maka, kalau mereka tertular IMS, maka mereka punakan menularkan IMS kepada istri, pacar atau selingkuhannya.

“Ah, laki-laki asli jarang yang mau pakai kondom, Mas,” kata seorang PSK di Tanjung Elmo. Fakta ini menempatkan laki-laki asli Papua pada posisi berisiko tinggi tertular  IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus melalui hubungan seksual dengan PSK.
Di lokalisasi Tanjung Elmo ada condom vending machine, lebih dikenal dengan sebutan “ATM Kondom”. Dengan memasukkan koin Rp 500 akan keluar sebuah kondom. Beberapa PSK memanfaatkannya untuk mendapatkan kondom.

Celakanya, tidak sedikit laki-laki yang membujuk PSK meladeninya tanpa kondom dengan tambahahn imbalan uang dari tarif ‘resmi’. Kondisi ini mendorong penyebaran IMS dan HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.

Laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami atau pasangan mereka melakukan hubungan seksual, al. dengan PSK, tanpa kondom.

Nah, kalau di antara laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK ada kepala suku, maka akan terjadi penyebaran IMS pada perempuan di komunitas kepala suku tadi.

Kalau saja Pemprov Papua dan KPA Prov Papua memakai pendekatan yang realistis maka hambatan adat-istiadat terkait dengan sosialisasi kondom bisa diatasi. Juga terkait dengan penolakan kondom karena dikhawatirkan menurunkan populasi penduduk asli.

Alasan untuk menolak kondom yaitu penurunan jumlah kelahiran yang berdampak terhadap populasi penduduk asli, tidak masuk akal karena kondom dianjurkan pada hubungan seksual berisiko, al. yang dilakukan dengan PSK.

Kalau laki-laki penduduk asli memakai kondom ketika melacur, maka mereka tidak perlu memakai kondom ketika sanggama dengan istri. Jadi, laki-laki terhindar dari HIV dan fungsi reproduksi melalui kehaliran anak pun tetap berjalan.

Masyarakat boleh-boleh saja menganggap penggunaan kondom akan membatasi pertambahan penduduk. Alasan itu pun tidak pas karena kondom dianjurkan pada hubungan seksual dengan PSK bukan dengan istri.

Sunat vs Kondom

Tapi, perlu diingat bahwa memakai kondom hanya pada hubungan seksual dengan PSK jika laki-laki tidak mengidap HIV/AIDS. Ini tentu bukan hal yang mudah karena harus dibuktikan bahwa laki-laki tsb. memang tidak mengidap HIV/AIDS.

Karena tidak ada cara untuk memastikan laki-laki yang akan melacur tidak mengidap HV/AIDS, maka dia harus memakai kondom ketika sanggama dengan PSK dan dengan istrinya.

Di sisi lain, apakah masyarakat sudah memahami bahwa jika kelak anak lahir dengan HIV/AIDS justru menimbulkan masalah baru dan anak itu pun belum tentu akan bisa mempunyai anak kelak.

Secara statistik masa AIDS terjadi setelah 5 – 15 tahun tertular HIV, sehingga bayi yang lahir dengan HIV/AIDS di masa remajanya akan mencapai masa AIDS. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS.

Masyarakat diberikan pilihan: memakai kondom ketika melacur agar tidak tertular HIV sehingga pada hubungan seksual dengan istri tidak perlu memakai kondom agar bisa menghasilkan keturunan, atau tidak memakai kondom ketika melacur dan sanggama dengan istri tapi risikonya anak lahir dengan HIV/AIDS.

Upaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK sama sekali tidak diatur dengan konkret di dalam Perda AIDS Prov Papua (Lihat: Perda AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).  

Celakanya, untuk mengatasi penolakan terhadap kondom Pemprov Papua akan melakukan sunat massal sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS. Langkah ini amat riskan karena sunat pada laki-laki bukan mencegah penularan HIV, tapi hanya menurunkan risiko tertular HIV antara 40 – 60 persen. Sedangkan kondom adalah untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual sampai nol persen.

Laki-laki dewasa penduduk asli Papua yang sudah disunat akan merasa dirinya sudah memakai kondom sehingga tidak memakai kondom ketika melacur. Risiko tertular HIV tetap besar. Maka, ketika mereka sanggama dengan istri mereka merasa aman karena sudah disunat. Celakanya, sunat bukan cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual sehingga mereka berisiko tertular HIV ketika melacur. Maka, istri mereka pun berisiko tertular HIV kalau mereka tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Pada laki-laki yang (sudah) disunat sejak anak-anak pun tetap terjadi IMS. “Banyak laki-laki yang disunat mengidap IMS,” kata seorang praktisi kesehatan di Subang, Jawa Barat.  Bahkan, Arab Saudi yang semua laki-laki disunat sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.

Begitu juga dengan ritual adat. Kalau laki-laki tidak mau memakai kondom pada ritual adat, maka pakailah kondom jika melalukan hubungan seksual dengan PSK atau pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

Di beberapa komunitas suku asli di Papua ada ritual yang al. ada kegiatan melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan istri atau pasangannya. Salah satu yang dikenal adalah tradisi papisj.

Karena tidak mungkin menyadarkan semua laki-laki terkait dengan risiko tertular HIV pada hubungan seksual dengan PSK, maka Pemprov Papua harus melakukan intervensi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hungan seksual dengan PSK.

Celakanya, Pemprov Papua dan pemerintah kabupaten dan kota di Papua sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Jika ada laki-laki asli Papua yang melacur tanpa kondom di Papua atau di luar Papua, maka selama itu pula selalu saja ada laki-laki aspi Papua yang berisiko tertular HIV.

Laki-laki asli Papua yang tertular HIV di Papua atau di luar Papua akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua, terutama melalui hubungan seksual dalam nikan, di luar nikah dan pada ritual ganti-ganti pasangan.

Diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk menyelamatkan orang asli Papua dari HIV/AIDS. Untuk itulah Pemprov Papua harus mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran. **[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.