Tanggapan Berita. “ …. praktek seks
bebas dan gonta-ganti pasangan sedang menjadi tren pergaulan di kalangan remaja
dan pemuda di kota Ruteng [Prov. Nusa Tenggara Timur (NTT)-pen.]” Ini
pernyataan Ketua GMNI Manggarai, Ardianus Nompidura (Penderita HIV/AIDS di NTT
Mencapai 1.491 Orang, www.floresbangkit.com, 14/8-2012).
Pernyataan
Ardianus tsb. menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terkait dengan mata
rantai penyebaran HIV/AIDS khususnya di NTT.
Dalam
berita disebutkan: “Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga yang mencapai 268 ….”
Tentu
saja ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV dari suaminya bukan remaja. Maka,
paling tidak ada 268 laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS.
Pertanyaannya
adalah: Apakah suami 268 ibu rumah tangga itu sudah menjalani tes HIV?
Kalau
jawabanya belum, maka 268 laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS
di masyarakat.
Maka,
pernyataan Ardianus hanyalah opini karena tidak terkait dengan fakta tentang
mata rantai penyebaran HIV.
Lagi
pula, apakah praktek seks bebas dan gonta-ganti pasangan hanya dilakukan oleh
remaja? Tentu saja tidak. Buktinya, ada 268 ibu rumah tangga yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS. Mereka ini tertular HIV dari laki-laki dewasa.
Dengan
268 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS, maka jika tidak ada pencegahan
dari-ibu-ke-bayi maka akan lahir ratusan bayi dengan HIV/AIDS.
Program
pencegahan dari-ibu-ke-bayi hanya bisa dilakukan jika ada ibu rumah tangga yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Pertanyaannya:
Apakah Pemprov NTT mempunyai program yang konkret untuk mendeteksi HIV/ADS pada
permpuan (hamil)?
Kalau
tidak ada, maka akan terus ada bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Selain menjadi
beban bagi keluarga dan pemerintah, bayi-bayi yang lahir dengan HIV/AIDS itu
pun tidak bisa diandalkan sebagai generasi penerut di NTT.
Jumlah
kasus kumulatif HIV/AIDS di NTT prriode 1997-Februari 2012 dilaporkan 1.491
terdiri atas HIV 699 dan AIDS 792 dengan 403 kematian. Angka ini sendiri tidak
menggambarkan jumlah ril pengidap HIV/AIDS di masyarakat karena penyebaran
HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi
(1.491) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air
laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai
bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Wartawan
yang menulis berita ini ternyata tidak melihat realitas di balik angka
kematian. Padahal, dr Husen Pankratius, Sekretaris KPA Prov NTT, sudah
mengingatkan: Angka kematian itu jika dilihat dalam realitas sosial dan
dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, maka angka itu sangat bermakna.
Dokter
Husen benar karena kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi pada masa
AIDS yaitu setelah tertular antara 5 - 15 tahun karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti
diare dan TBC. Pada rentang waktu antara 5 – 15 tahun orang-orang yang sudah
mengidap HIV/AIDS tidak menyadari diri mereka sudah tertular HIV/AIDS. Akibatnya,
mereka menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tenpa mereka sadari.
Kalau
403 Odha yang meninggal itu mempunyai satu pasangan saja, tentu sudah ada 403
penduduk NTT yang berisiko tertular HIV.
Jika
di antara 403 Odha yang meninggal itu ada pekerja seks komersial (PSK), maka
sebelum dia meninggal paling tidak sudah ada 3.600 – 10.800 (1 PSK x 3
laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 tahun atau 15 tahun) laki-laki yang
berisiko tertular HIV karena melakukan hubungan seksual dengannya tanpa kondom.
Sayang,
realitas sosial terkait dengan HIV/AIDS sering tidak dikembangkan wartawan
ketika menulis berita tentang HIV/AIDS. Akibatnya, masyarakat tidak memahami
HIV/AIDS dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisinya
kian runyam karena sering terjadi informasi HIV/AIDS dibumbui dengan moral
sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Yang sampai ke masyarakat hanya
mitos (anggapan yang salah).
Disebutkan
oleh dr Husen: “ …. Setiap SKPD selain
sebagai anggota KPA, SKPD juga harus berperan aktif dengan menjadikan HIV/AIDS
sebagai salah satu isu penting yang dimasukan dalam kerangka kebijakan anggaran.”
Persoalannya adalah tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran, di tempat hiburan, dan di tempat-tempat lain. Peraturan darah (Perda) AIDS Prov NTT No 3 Tahun 2007 yang disahkan tanggal 17 September 2007 pun sama sekali tidak memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS NTT: http://www.aidsindonesia.com/2012/08/mengukur-peran-perda-penanggulangan.html).
Pengelola
Program KPA Provinsi NTT, Gusti Brewon, mengatakan, jumlah penderita HIV-AIDS
di NTT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pelaporan
kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus
lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka kasus yang
dilaporkan akan terus meningkat dan tidak akan pernah turun biar pun
penderitanya banyak yang meninggal.
Yang
jadi persoalan adalah: Apakah ada program Pemprov NTT yang konkret untuk
menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui
hubungan seksual dengan PSK?
Kalau
jawabannya TIDAK ADA, maka penyebaran HIV di NTT akan terus terjadi. Kasus
HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menunjukkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki terus terjadi.
Padahal,
intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa,
melalui hubungan seksual dengan PSK merupakan salah satu kunci penanggulangan
HIV/AIDS yang komprehensif karena realistis dan terukur.
Dikabarkan
KPA NTT terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sekaligus
mengkampanyekan penggunaan kondom saat berhubungan badan untuk menekan
penyebaran HIV dan AIDS.
Untuk
menyadarkan laki-laki ‘hidung belang’ agar memakai kondom ketika melacur
membutuhkan waktu yang lama. Nah, pada rentang waktu antara mulai menerima
sosialisasi sampai perilakunya berubah mereka tetap melacur dengan PSK tanpa
kondom. Maka, ada risiko tertular HIV.
Maka,
sejalan dengan kampanye kondom perlu dilakukan intervensi yang konkret di
lokalisasi pelacuran yaitu program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki
jika sanggama dengan PSK.
Langkah
konkret ini hanya bisa dilakukan kalau pelacuran dilokalisir. Germo atau
mucikari diberikan izin usaha sebagai pintu masuk untuk menerapkan sanksi
hukum.
Secara
rutin PSK menjalani tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis/raja
singa, GO/kencing nanah, virus hepatitis B, dll.). Kalau ada PSK yang
terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan PSK itu meladeni laki-laki tanpa
kondom. Maka, germo diberikan sanksi sesuai dengan yang sudah ditetapkan, misalnya
mulai dari peringatan, denda, pencabutan izin usaha sampai kurungan badan.
Kalau
yang ditindak PSK yang terdeteksi mengidap IMS tidak akan membuahkan hasil
karena seorang PSK yang dilarang praktek akan digantikan belasan PSK ‘baru’.
Lagi
pula kesalahan tidak sepenuhnya pada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom
karena laki-laki sering memaksa PSK meladeninya dengan iming-iming uang atau
memakai tangan germo.
Dikabarkan
pelayanan VCT (Voluntary, Counseling, and Testing) yaitu tes HIV gratis
dengan konseling secara sukarela di Manggarai sudah saatnya berbasis puskesmas,
apalagi Manggarai memiliki 22 konselor VCT.
Klinik
VCT adalah penanggulangan di hilir. Artinya, Pemprov NTT aau Pemkab Manggarai
menunggu penduduk tertular hIV dahulu
baru ditangani di klinik VCT.
Yang
diperlukan adalah langkah yang konkret adalah menurunan insiden infeksi HIV
baru baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Tanpa program
ini, penyebaran HIV/AIDS di NTT akan terus terjadi yang kelak akan menghasilkan
‘ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.