23 Agustus 2012

Kematian Odha Terkait HIV/AIDS di NTT


Tanggapan Berita. “ …. praktek seks bebas dan gonta-ganti pasangan sedang menjadi tren pergaulan di kalangan remaja dan pemuda di kota Ruteng [Prov. Nusa Tenggara Timur (NTT)-pen.]” Ini pernyataan Ketua GMNI Manggarai, Ardianus Nompidura (Penderita HIV/AIDS di NTT Mencapai 1.491 Orang, www.floresbangkit.com, 14/8-2012).

Pernyataan Ardianus tsb. menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terkait dengan mata rantai penyebaran HIV/AIDS khususnya di NTT.

Dalam berita disebutkan: “Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga yang mencapai 268 ….”

Tentu saja ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV dari suaminya bukan remaja. Maka, paling tidak ada 268 laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS.

Pertanyaannya adalah: Apakah suami 268 ibu rumah tangga itu sudah menjalani tes HIV?

Kalau jawabanya belum, maka 268 laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Maka, pernyataan Ardianus hanyalah opini karena tidak terkait dengan fakta tentang mata rantai penyebaran HIV.

Lagi pula, apakah praktek seks bebas dan gonta-ganti pasangan hanya dilakukan oleh remaja? Tentu saja tidak. Buktinya, ada 268 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka ini tertular HIV dari laki-laki dewasa.

Dengan 268 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS, maka jika tidak ada pencegahan dari-ibu-ke-bayi maka akan lahir ratusan bayi dengan HIV/AIDS.

Program pencegahan dari-ibu-ke-bayi hanya bisa dilakukan jika ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Pertanyaannya: Apakah Pemprov NTT mempunyai program yang konkret untuk mendeteksi HIV/ADS pada permpuan (hamil)?

Kalau tidak ada, maka akan terus ada bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Selain menjadi beban bagi keluarga dan pemerintah, bayi-bayi yang lahir dengan HIV/AIDS itu pun tidak bisa diandalkan sebagai generasi penerut di NTT.

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di NTT prriode 1997-Februari 2012 dilaporkan 1.491 terdiri atas HIV 699 dan AIDS 792 dengan 403 kematian. Angka ini sendiri tidak menggambarkan jumlah ril pengidap HIV/AIDS di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (1.491) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar). 


Wartawan yang menulis berita ini ternyata tidak melihat realitas di balik angka kematian. Padahal, dr Husen Pankratius, Sekretaris KPA Prov NTT, sudah mengingatkan: Angka kematian itu jika dilihat dalam realitas sosial dan dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, maka angka itu sangat bermakna.

Dokter Husen benar karena kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi pada masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5 - 15 tahun karena penyakit-penyakit  yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC. Pada rentang waktu antara 5 – 15 tahun orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari diri mereka sudah tertular HIV/AIDS. Akibatnya, mereka menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tenpa mereka sadari.

Kalau 403 Odha yang meninggal itu mempunyai satu pasangan saja, tentu sudah ada 403 penduduk NTT yang berisiko tertular HIV.

Jika di antara 403 Odha yang meninggal itu ada pekerja seks komersial (PSK), maka sebelum dia meninggal paling tidak sudah ada 3.600 – 10.800 (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 tahun atau 15 tahun) laki-laki yang berisiko tertular HIV karena melakukan hubungan seksual dengannya tanpa kondom.

Sayang, realitas sosial terkait dengan HIV/AIDS sering tidak dikembangkan wartawan ketika menulis berita tentang HIV/AIDS. Akibatnya, masyarakat tidak memahami HIV/AIDS dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisinya kian runyam karena sering terjadi informasi HIV/AIDS dibumbui dengan moral sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Disebutkan oleh dr Husen:  “ …. Setiap SKPD selain sebagai anggota KPA, SKPD juga harus berperan aktif dengan menjadikan HIV/AIDS sebagai salah satu isu penting yang dimasukan dalam kerangka kebijakan anggaran.”

Persoalannya adalah tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran, di tempat hiburan, dan di tempat-tempat lain. Peraturan darah (Perda) AIDS Prov NTT No 3 Tahun 2007 yang disahkan tanggal 17 September 2007 pun sama sekali tidak memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS NTT: http://www.aidsindonesia.com/2012/08/mengukur-peran-perda-penanggulangan.html).

 Pengelola Program KPA Provinsi NTT, Gusti Brewon, mengatakan, jumlah penderita HIV-AIDS di NTT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka kasus yang dilaporkan akan terus meningkat dan tidak akan pernah turun biar pun penderitanya banyak yang meninggal.

Yang jadi persoalan adalah: Apakah ada program Pemprov NTT yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK?

Kalau jawabannya TIDAK ADA, maka penyebaran HIV di NTT akan terus terjadi. Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menunjukkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki terus terjadi.

Padahal, intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK merupakan salah satu kunci penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif karena realistis dan terukur.

Dikabarkan KPA NTT terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sekaligus mengkampanyekan penggunaan kondom saat berhubungan badan untuk menekan penyebaran HIV dan AIDS.

Untuk menyadarkan laki-laki ‘hidung belang’ agar memakai kondom ketika melacur membutuhkan waktu yang lama. Nah, pada rentang waktu antara mulai menerima sosialisasi sampai perilakunya berubah mereka tetap melacur dengan PSK tanpa kondom. Maka, ada risiko tertular HIV.

Maka, sejalan dengan kampanye kondom perlu dilakukan intervensi yang konkret di lokalisasi pelacuran yaitu program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki jika sanggama dengan PSK.

Langkah konkret ini hanya bisa dilakukan kalau pelacuran dilokalisir. Germo atau mucikari diberikan izin usaha sebagai pintu masuk untuk menerapkan sanksi hukum.

Secara rutin PSK menjalani tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis/raja singa, GO/kencing nanah, virus hepatitis B, dll.). Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan PSK itu meladeni laki-laki tanpa kondom. Maka, germo diberikan sanksi sesuai dengan yang sudah ditetapkan, misalnya mulai dari peringatan, denda, pencabutan izin usaha sampai kurungan badan.

Kalau yang ditindak PSK yang terdeteksi mengidap IMS tidak akan membuahkan hasil karena seorang PSK yang dilarang praktek akan digantikan belasan PSK ‘baru’.

Lagi pula kesalahan tidak sepenuhnya pada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom karena laki-laki sering memaksa PSK meladeninya dengan iming-iming uang atau memakai tangan germo.

Dikabarkan pelayanan VCT (Voluntary, Counseling, and Testing) yaitu tes HIV gratis dengan konseling secara sukarela di Manggarai sudah saatnya berbasis puskesmas, apalagi Manggarai memiliki 22 konselor VCT.

Klinik VCT adalah penanggulangan di hilir. Artinya, Pemprov NTT aau Pemkab Manggarai menunggu penduduk tertular  hIV dahulu baru ditangani di klinik VCT.

Yang diperlukan adalah langkah yang konkret adalah menurunan insiden infeksi HIV baru baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Tanpa program ini, penyebaran HIV/AIDS di NTT akan terus terjadi yang kelak akan menghasilkan ‘ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.