12 Agustus 2012

Kasus Baru HIV/AIDS di Indonesia Terus Bertambah

Tanggapan Berita. “Data dari berbagai negara menujukkan infeksi baru untuk HIV menurun. Namun kondisi ini berbanding terbalik dengan di Indonesia yang justru meningkat.” Ini pernyataan di lead berita “Infeksi Baru HIV di Banyak Negara Menurun, Indonesia Malah Meningkat” (detikHealth, 3/8-2012).

Di banyak negara di Afrika, Eropa Barat, serta AS, dan Australia sejak awal tahun 2000 penemuan kasus HIV/AIDS baru sudah menunjukkan statistik yang mendatar.  Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik statistik penemuan kasus baru justru meroket.

Kondisi itu terjadi bukan karena sudah ada obat atau vaksih HIV/AIDS, tapi penduduk di sana sudah mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik, terutama Indonesia, cara pencegahan dengan kondom pada hubungan seksual yang berisiko tertular HIV justru ditentang dan ditolak habis-habisan.

Penyebab lain adalah di Indonesia tidak ada cara yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).  Ini terjadi karena Indonesia mengabaikan (praktek) pelacuran dengan alasan tidak ada lokalisasi pelacuran yang ‘resmi’. Memang, secara de jure tidak ada pelacuran karena pelacuran dilarang di Indonesia. Lokasi pelacuran yang ada di beberapa daerah disebut liar dan illegal.

Padahal, secara de facto praktek pelacuran yang disebut liar dan illegal itu ada di seluruh Indonesia. Ada beberapa daerah yang memberikan lokasi, tapi tidak mengakuinya sebagai kegiatan pelacuran dengan menyebut ‘tempat-tempat berisiko terjadi penularan HIV/AIDS’.

Maka, tidaklah mengerankan kalau kemudian "Di Indonesia setiap harinya di lapangan masih menemui adanya peningkatan kasus baru." Ini disampaikan oleh dr. Dyah Agustina Waluyo, dokter yang concern di bidang HIV/AIDS, dalam acara berbagi informasi hasil konferensi internasional AIDS 2012 di Poliklinik Pokdisus RSCM, Jakarta (3/8/2012).

Estimasi atau perkiraan berdasarkan perhitungan epidemiologi penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS 300.000, tapi yang sudah meminum obat antiretroviral (ARV) baru sekitar 35.000.

Itu berarti pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi dan belum meminum obat ARV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
sebuah klinik tes HIV dan konseling gratis
Di bagian lain dr  Dyah, dari RS Kramat 128 Jakarta, mengatakan:  "Saya sedih, orang sudah melangkah maju sedang kita masih jauh di belakang. Di Indonesia tiap hari masih terdengar ada bayi yang lahir dengan HIV positif, kita belum mampu mencegah penularan dari ibu ke bayi."

Persoalannya adalah bukan tidak mampu mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, tapi di Indonesia tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Banyak perempuan yang mengidap HIV/AIDS yang tertular dari suaminya tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Itulah sebabnya sebagian besar ibu hamil terdeteksi HIV pada saat hendak melahirkan. Ini artinya akan sulit menjalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi. Yang bisa dilakukan hanyalah pencegahan melalui persalinan yaitu dengan operasi Caesar.

Mendeteksi HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara pasif yaitu melalui klinik VCT (klinik tes HIV dengan konseling secara gratis) dan PITC (provider initiating testing counseling) yaitu dokter menganjurkan pasien tes HIV jika mendiagnosis penyakit yang terkait dengan infeksi HIV/AIDS.

Di beberapa negara tes HIV diwajibakan terutama pada pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah. Di negara lain ada survailans tes HIV yang dilakukan secara rutin, khusus dan sentinel terhadap kalangan tertentu, seperti perempuan hamil, polisi, mahasiswa, pasien TBC, pasien IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.).

Di Indonesia tidak ada sistem yang bisa mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Maka, banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada masa AIDS. Ini artinya mereka sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya sehingga pada rentang waktu sejak tertular sampai terdeteksi HIV mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.

Disebutkan bahwa semua orang bisa tertular (maksudnya HIV-pen.), jadi kalau dites tujuannya untuk menyelamatkan dia dan juga bayinya dan bukan untuk diskriminasi.

Pernyataan di atas tidak pas karena tidak semua orang perilakunya berisiko tertular HIV. Maka, yang dianjurkan tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya, terutama perilaku seks, yang berisiko tertular HIV. Misalnya, laki-laki dewasa yang pernah atau sering melacur, di lokalisasi atau di luar lokalisasi pelacuran, tanpa kondom. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

2 komentar:

  1. Terima kasih untuk informasinya mudah-mudahan informasi di atas bisa menjadi cambuk buat diri kita sendiri dan sadar untuk menjaga kesehatan seksual mereka khususnya diri kita sendiri....

    BalasHapus
  2. @Kang Aum, itulah yang kita harapkan setiap orang menjaga perilakunya agar tidak tertular HIV. Tapi, itu kan hal yang mustahil. Maka, pemerintah harus membuat program yang konkret berupa intervensi untuk menuruntkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki 'hidung belang' melalui program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melacur. Celakanya, program ini tidak bisa karena di Indonesia dianggap tidak ada pelacuran karena tidak ada lokaliasi pelacaraun yang 'resmi' artinya dikelola oleh dinas soisal ....

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.