Di
banyak negara di Afrika, Eropa Barat, serta AS, dan Australia sejak awal tahun
2000 penemuan kasus HIV/AIDS baru sudah menunjukkan statistik yang
mendatar. Sebaliknya, di kawasan Asia
Pasifik statistik penemuan kasus baru justru meroket.
Kondisi
itu terjadi bukan karena sudah ada obat atau vaksih HIV/AIDS, tapi penduduk di
sana sudah mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat.
Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik, terutama Indonesia, cara pencegahan dengan
kondom pada hubungan seksual yang berisiko tertular HIV justru ditentang dan
ditolak habis-habisan.
Padahal,
secara de facto praktek pelacuran yang
disebut liar dan illegal itu ada di seluruh Indonesia. Ada beberapa daerah yang
memberikan lokasi, tapi tidak mengakuinya sebagai kegiatan pelacuran dengan
menyebut ‘tempat-tempat berisiko terjadi penularan HIV/AIDS’.
Maka,
tidaklah mengerankan kalau kemudian "Di Indonesia setiap harinya di
lapangan masih menemui adanya peningkatan kasus baru." Ini disampaikan
oleh dr. Dyah Agustina Waluyo, dokter yang concern
di bidang HIV/AIDS, dalam acara berbagi informasi hasil konferensi internasional
AIDS 2012 di Poliklinik Pokdisus RSCM, Jakarta (3/8/2012).
Estimasi
atau perkiraan berdasarkan perhitungan epidemiologi penduduk Indonesia yang mengidap
HIV/AIDS 300.000, tapi yang sudah meminum obat antiretroviral (ARV) baru
sekitar 35.000.
Itu
berarti pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi dan belum meminum obat ARV akan
menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
![]() |
sebuah klinik tes HIV dan konseling gratis |
Di bagian lain dr Dyah, dari RS Kramat
128 Jakarta, mengatakan: "Saya
sedih, orang sudah melangkah maju sedang kita masih jauh di belakang. Di
Indonesia tiap hari masih terdengar ada bayi yang lahir dengan HIV positif,
kita belum mampu mencegah penularan dari ibu ke bayi."
Persoalannya
adalah bukan tidak mampu mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang
dikandungnya, tapi di Indonesia tidak ada mekanisme yang sistematis untuk
mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Banyak
perempuan yang mengidap HIV/AIDS yang tertular dari suaminya tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada
fisik mereka. Itulah sebabnya sebagian besar ibu hamil terdeteksi HIV pada saat
hendak melahirkan. Ini artinya akan sulit menjalankan program pencegahan
dari-ibu-ke-bayi. Yang bisa dilakukan hanyalah pencegahan melalui persalinan
yaitu dengan operasi Caesar.
Mendeteksi
HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara pasif yaitu melalui klinik VCT (klinik
tes HIV dengan konseling secara gratis) dan PITC (provider initiating testing counseling) yaitu dokter menganjurkan
pasien tes HIV jika mendiagnosis penyakit yang terkait dengan infeksi HIV/AIDS.
Di
beberapa negara tes HIV diwajibakan terutama pada pasien yang berobat ke rumah
sakit pemerintah. Di negara lain ada survailans tes HIV yang dilakukan secara
rutin, khusus dan sentinel terhadap kalangan tertentu, seperti perempuan hamil,
polisi, mahasiswa, pasien TBC, pasien IMS (infeksi menular seksual, seperti GO,
sifilis, hepatitis B, dll.).
Di
Indonesia tidak ada sistem yang bisa mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Maka,
banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada masa AIDS. Ini artinya mereka sudah
tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya sehingga pada rentang waktu sejak
tertular sampai terdeteksi HIV mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain
tanpa mereka sadari.
Disebutkan
bahwa semua orang bisa tertular (maksudnya HIV-pen.), jadi kalau dites tujuannya
untuk menyelamatkan dia dan juga bayinya dan bukan untuk diskriminasi.
Pernyataan di atas tidak pas karena tidak semua orang perilakunya berisiko tertular HIV. Maka, yang dianjurkan tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya, terutama perilaku seks, yang berisiko tertular HIV. Misalnya, laki-laki dewasa yang pernah atau sering melacur, di lokalisasi atau di luar lokalisasi pelacuran, tanpa kondom. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Terima kasih untuk informasinya mudah-mudahan informasi di atas bisa menjadi cambuk buat diri kita sendiri dan sadar untuk menjaga kesehatan seksual mereka khususnya diri kita sendiri....
BalasHapus@Kang Aum, itulah yang kita harapkan setiap orang menjaga perilakunya agar tidak tertular HIV. Tapi, itu kan hal yang mustahil. Maka, pemerintah harus membuat program yang konkret berupa intervensi untuk menuruntkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki 'hidung belang' melalui program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melacur. Celakanya, program ini tidak bisa karena di Indonesia dianggap tidak ada pelacuran karena tidak ada lokaliasi pelacaraun yang 'resmi' artinya dikelola oleh dinas soisal ....
BalasHapus