Oleh Syaiful W. Harahap
Sejak kasus AIDS ditemukan
di Bali (1987), yang kemudian diakui pemerintah sebagai kasus AIDS pertama di
Indonesia, sampai sekarang kasus HIV/AIDS terus terdeteksi di semua daerah. Sampai
31 Maret 2012 Kemenkes melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak 113.300 yang terdiri atas 82.870
HIV dan 30.430 AIDS dengan 5.469
kematian.
Beberapa daerah, tercatat ada 55
daerah menerbitkan perda AIDS, 1 pergub dan 1 perwalkot sebagai reaksi untuk menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS di daerahnya. Apakah
perda-perda itu berhasil?
![]() |
Lokalisasi Pelacuran di Tanjung Elmo 'turki' Jayapura |
Ide membuat perda itu adalah program ’100 persen kondom’ di Thailand yang
disebut-sebut berhasil menekan laju penyebaran HIV. Celakanya, program itu bisa
diterapkan karena di Thailand karena ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Sedangkan di Indonesia semua lokalisasi sudah ditutup. Bahkan, beberapa daerah
membuat perda anti pelacuran, anti minuman keras, dan anti maksiat dengan
penegakan hukum yang ketat, seperti razia terhadap pasangan-pasangan di losmen
dan hotel melati. Selain itu terjadi pula penolakan besar-besaran terhadap
promosi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks.
Penerapan ’program 100 persen kondom’ di Indonesia tidak efektif karena hanya
meniru sebagai pengekor kebehasilan Thailand tanpa melihat program seccara
utuh. ’Program 100 persen kondom’ itu merupakan ekor dari serangkaian program
penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Di gerbang pintu masuk ke lokalisasi pelacuran Tanjung Elmo, dikenal luas
sebagai ’turki’ (turunan kiri), terletak di tepi Danau Sentani di kiri jalan
dari arah Jayapura ke Bandara Sentani ada peringatan tentang wajib kondom.
Tapi, tidak ada mekanisme yang konkret untuk menatau pemakaian kondom pada
laki-laki yang melacur di sana.
Keberhasilan Thailand dalam menurunkan laju infeksi HIV baru di kalangan
dewasa berkat pemahaman masyarakat yang disiarkan media massa. Media massa
tanpa berita kesehatan masyarakat tetap bisa jalan. Tapi, kesehatan masyarakat tidak
bisa jalan kalau tidak dipublikasikan (melalui media massa). Ini yang luput
dari perhatian banyak kalangan yang terlibat dengan program penanggulangan
HIV/AIDS.
Kesenjangan Informasi
Dari serangkaian program penanggulangan yang dijalankan Thailand media massa
menjadi urutan pertama yang dimanfaatkan.
Program utuh yang dijalakan Thailand dalam menanggulangi HIV/AIDS adalah
peningkatan peran media massa sebagai
media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS
di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan,
promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks.
Peningkatan peran media massa merupakan sumber pembelajaran bagi
masyarakat. Tanpa berita
kesehatan media massa jalan terus, tapi kesehatan, terutama kesehatan
masyarakat, tanpa publikasi (media massa) tidak akan jalan. Persoalan yang
sangat mendasar di Indonesia adalah materi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disebarluaskan
tidak akurat karena selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya,
banyak orang yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis, tapi memahami
HIV/AIDS sebagai mitos.
Kesenjangan informasi HIV/AIDS pun kian lebar karena media massa nasional
sendiri sering pula membalut berita HIV/AIDS dengan norma, moral, dan agama.
Ini pun mendorong masyarakat melihat HIV/AIDS terkait dengan moral sehingga
muncul stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap
Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Karena program pendidikan masyarakat melalui media massa tidak dijalankan
dengan konsisten maka muncullah penolakan terhadap beberapa program yang
terkait dengan kesehatan reproduksi, gender, dan HIV/AIDS. Seorang menteri
pernah ’diusir’ anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) ketika berbicara tentang
gender. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi NAD, misalnya, dengan tegas mengatakan tidak memasukkan penggunaan
kondom dalam program penanggulangan HIV/AIDS.
Hal itu semua terjadi karena masyarakat tidak memahami akar persoalan
HIV/AIDS dengan jernih karena informasi yang mereka terima tidak komprehensif.
Untuk itulah perlu ada upaya untuk meningkatkan kepedulian media massa terhadap
pemasyarakatan HIV/AIDS secara terus-menerus. Pelatihan untuk penulisan berita
HIV/AIDS sangat terbatas. Banyak donor yang enggan mendukung pelatihan semacam
ini. Begitu pula dengan lomba karya tulis AIDS sangat jarang ada donor dan
perusahaan yang mendukungnya.
Pelatihan untuk penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif saat ini hanya
dijalankan oleh HCPI (HIV Cooperation
Program for Indonesia)- (Dana
Kemitraan Australia-Indonesia)/AusAID melalui media relations officer (MRO) di
KPA DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Papua dan Papua Barat. Pelatihan lain pernah
dijalankan oleh Medan Aceh Partnership (MAP) di Aceh.
Berita seputar HIV/AIDS yang konsisten di media massa diharapkan dapat
mendorong masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap pencegahan HIV. Ini
menjadi penting karena program-program penanggulangan HIV/AIDS hanya dilakukan
di hilir. Penanganan dan pendampingan Odha, pemberian obat antiretroviral, penjangkuan
terhadap pekerja seks dan pengguna narkoba, dll. Program itu bisa jalan karena
ada bantuan asing berupa donor. Selama ini lebih dari 70 persen dana
penanggulangan HIV/AIDS berasal dari donor.
Dibalut Moral
Tapi, ada yang dilupakan yaitu pada saat yang sama ketika dana dipakai di
hilir jumlah infeksi baru (di hulu) terus meningkat yang akhirnya juga akan
bermuara ke program di hilir. Ini akan membenani program di hilir. Jika donor
tidak ada maka program di hilir akan kelabakan karena hanya mengandalkan dana
dari pemerintah melalui APBN dan APBD.
Penanganan di hulu terabaikan. Penyebarluasan informasi melalui media massa
sangat rendah. HIV/AIDS baru jadi berita kalau ada kasus. Berita pun lebih
banyak yang mengedepankan sensasi. Akibatnya, pemahman masyarakat terhadap
HIV/AIDS sangat rendah.
Karena penyebaran informasi HIV/AIDS yang sangat rendah itulah maka tidak
mengherankan kalau belakangan ini muncul penolakan yang keras terhadap
pemasyarakatan kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui
hubungan seks. Hal yang sama juga terjadi pada program harm reduction. Sebuah
majalah berita menyebut harm reduction dengan rumatan metadon sebagai ’melawan
setan dengan setan’.
Dari 55 Perda yang ada tidak ada satu pasal pun yang menawarkan cara akurat
sebagai pencegahan HIV. Semua pencegahan dibalut dengan norma, moral, dan agama.
Perda AIDS Provinsi Riau dan Kab. Tasikmalaya, umpanya, menyebutkan
HIV/AIDS dapat dicegah dengan iman dan taqwa. Pertanyaannya adalah: (a)
bagaiman iman dan taqwa mencegah penularan HIV, (b) apa alat ukur, timbang dan
takar iman dan taqwa, dan (c) bagaimana menetapkan ukuran iman dan taqwa yang
bisa mencegah HIV.
Lagi pula hal itu akan menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap Odha
karena ada kesan orang-orang yang tertular HIV karena tidak beriman dan tidak
bertaqwa.
Kalau saja Perda-perda itu mengacu ke fakta tentang penularan HIV, maka
yang perlu diatur untuk memutus mata rantai penyebaran HIV adalah perilaku
orang per orang. Dalam Perda ada pasal yang menyebutkan: ”Setiap orang diwajibkan
memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah di
mana saja dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK.”
Selanjutnya dibuat pula pasal yang berbunyi ” Setiap orang yang pernah atau
sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti PSK, di mana saja diwajibkan menjalani tes HIV.”
Kian banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif makin banyak pula mata
rantai penyebaran HIV yang dapat diputus sehingga kasus infeksi HIV baru bisa
ditekan.
Tapi, karena semua dibalut dengan norma, moral, dan agama maka
penanggulangan yang ditawarkan di perda-perda pun tidak menyentuh akar
persoalan penyebaran HIV.
Maka, penyebaran HIV terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ’ledakan
AIDS’.
***[AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.