Oleh SYAIFUL W. HARAHAP*
Catatan: Naskah ini dimuat
di Harian ”Suara Pembaruan”, Jakarta, 1 Desember 2000
Risiko tertular HIV melalui
darah yang terkontaminasi HIV lebih dari 90 persen. Oleh sebabitu setiap orang
yang menerima transfusi darah berhak mendapatkan darah yang bebas dari HIV.
Pedoman internasional dan Resolusi IPU (Inter-Parliamentary Union) Tahun
1998 juga menghargai undang-undang tentang kesehatan masyarakat yang
mengharuskan darah untuk transfusi bebas dari HIV dan penyakit-penyakit yang
di bawa darah. Ditinjau dari aspek hak asasi manusia (HAM) pun hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak asasi.
Laporan UNAIDS (1997)
menunjukkan lebih dari empat juta darah donor setiap tahun di seluruh dunia
tidak dites HIV dan penyakit-penyakit infeksi lain. Dari 34,3 juta kasus HIV/AIDS global 5-10 persen di antaranya tertular
melalui transfusi darah yang tidak diskrining HIV. Bahkan di India
7 persen kasus HIV/AIDS tertular melalui transfusi darah (Strategies for Safe Blood Transfusion, WHO, Regional Office for
South-East Asia, New Delhi, 1998).
Penularan
HIV melalui darah bukan hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di
negara maju. Di Eropa, misalnya, tercatat 6.000 kasus, sedangkan di AS
antara 1983 dan 1993 tercatat 8.000 kasus penularan HIV melalui transfusi
darah.
Kasus penularan HIV melalui
transfusi darah baru saja terjadi pada seorang wanita guru mengaji di Malaysia.
Ibu rumah tangga berusia 47 tahun itu berobat ke Rumah Sakit Jitra, 28 April
2000, karena perdarahan sehingga memerlukan transfusi darah. Darah yang
ditransfusikan kemudian diketahui HIV-positif. Tes darah pada 8 Mei 2000 menunjukkan
wanita tadi tertular HIV.
Faktor risiko penularan yang
jelas diketahui dari transfusi darah di sebuah rumah sakit, menyebabkan wanita
itu pun menuntut ganti rugi kepada pemerintah Malaysia sebesar 100 juta ringgit
Malaysia (sekitar Rp 200 miliar). Tuntutan lain adalah pengobatan gratis selama
sisa hidupnya yang diperkirakan 2.000 ringgit (sekitar Rp 4 juta) per bulan.
Tes Sukarela
Bertolak dari fakta di atas,
patutlah kita khawatir membaca berita ”Darah
PMI Rentan Penyakit” (Suara Pembaruan, 11/11-2000). Bisa saja
kejadian di Malaysia terjadi di sini. Maka, tuntutan yang sama pun bisa pula
terjadi di negeri ini. Apalagi sekarang sudah ada UU Perlindungan Konsumen.
Pada Januari 2000, misalnya, Ditjen PPM&PL Depkes melaporkan 16 kasus HIV
yang terdeteksi pada darah donor.
Probabilitas penularan HIV
melalui darah sangat tinggi. Tidak ada pilihan bagi UTD (unit transfusi
darah)-Palang Merah Indonesia (PMI) selain menskrining darah (melakukan uji
saring darah) yang akan ditransfusikan.
PMI yang sudah ada sejak tahun
1969 berdasarkan Keppres No 246/1969 mulai melakukan uji saring darah donor
dalam upaya penanggulangan AIDS sejak 1992 berdasarkan Kepmenkes No
622/VII/1992. Tes sifilis mulai dilakukan pada 1974, hepatitis B sejak 1985,
sedangkan tes hepatitis C baru dilakukan di beberapa UTD.
Sampai tahun 1996 tercatat 144
UTD di seluruh Indonesia. Bandingkan dengan jumlah daerah tingkat dua
(kabupaten dan kota) yang mencapai 298. Pemerintah AS mewajibkan darah dites
HIV sejak Maret 1985. Identifikasi HIV sendiri pada 1983. Jadi, penerima
transfusi darah sebelum 1992, perlu juga memikirkan untuk menjalani tes HIV
secara sukarela karena kasus HIV/ AIDS di Indonesia sudah ada sejak 1987.
Bahkan, pada 1988 seorang warga negara Indonesia meninggal dengan indikasi
AIDS. Berarti, kalau jarak antara infeksi sampai mencapai masa
AIDS antara 5-15 tahun maka epidemi HIV sudah ada antara tahun 1978 dan 1983.
Hasil tes HIV terhadap darah
donor sendiri bergantung pula pada masa jendela (window period). Biarpun
seseorang sudah tertular HIV tetapi dalam rentang waktu enam bulan sejak
tertular antibodi di dalam darahnya belum bisa dideteksi melalui tes HIV. Dalam
kaitan itulah diperlukan kejujuran donor. Salah satu cara untuk mengetahui perilaku
donor adalah melalui kuestioner atau daftar pertanyaan.
Biarpun angka kasus infeksi HIV
dari transfusi darah kecil tetapi skirining darah donor tetap harus menjadi
perhatian karena epidemi HIV dan penyebaran PMS sudah masuk ke masyarakat pada
kelompok berisiko rendah tertular HIV, seperti ibu-ibu rumah tangga dan bayi.
Pada 1992/1993 dari 533.865 kantong darah terdeteksi delapan kantong darah yang
positif HIV, 1997/1998 terdeteksi 28, pada 1998/1999 terdeteksi 56 dan
1999/2000 terdeteksi 66. Jika dihitung
rata-rata dari setiap 10.000 kantong darah ada satu yang positif HIV.
Standar ISO
Melihat risiko penularan
melalui transfusi yang sangat tinggi, ada baiknya kalau kebutuhan darah dicari
dari lingkungan anggota keluarga. Anggota keluarga tentu akan lebih jujur
sehingga hasil negatif palsu (hasil tes HIV pada masa jendela) dapat
dihindarkan. Di samping itu pemberian transfusi darah pun harus rasional,
artinya transfusi diberikan jika pertimbangan secara medis sudah
mengharuskannya.
Selama ini UTD-PMI menghadapi
kendala biaya untuk uji saring darah (biaya pengganti pengolahan darah/ BPPD)
yang terus meningkat. Pengujian satu labu darah memerlukan biaya Rp 106.000,
tetapi BPPD yang ditetapkan UTD-PMI justru di bawah biaya uji saring darah (Republika, 13/11-2000). Jika
dibandingkan dengan risiko penularan HIV dan penyakit lain dari transfusi darah
yang tidak disaring tentulah biaya itu tidak besar. Inilah yang perlu
disosialisasikan agar masyarakat memahaminya. Agaknya, itulah yang kurang
dilakukan selama ini. Di Malaysia darah untuk transfusi gratis.
Ada baiknya anjuran WHO untuk
melakukan pool 2 sampai pool 6 (menggabungkan dua sampai enam contoh darah)
pada uji saring darah bagi negara yang kekurangan dana dan prevalensi HIV
rendah tidak diterapkan secara membabi-buta. Prevalensi HIV secara nasional
yang dinilai rendah itu terjadi karena surveilllance
test dilakukan secara sporadis, bahkan sering mengabaikan hak-hak asasi
manusia (HAM) ketika dilakukan terhadap pekerja seks. Petugas menyebutkan surveillance sifilis, tetapi yang terjadi kemudian tes
HIV. Identitas pekerja seks pun diketahui karena contoh darah dicatat.
Jadi, prevalensi HIV nasional
tidak dapat dijadikan patokan karena surveillance test tidak sistematis
dan angka kasus kumulatif HIV/AIDS pun tidak semuanya warga negara Indonesia.
Tidak sedikit pula dari angka itu yang merupakan hasil surveillance test
sehingga tidak akurat karena hasil- nya belum dikonfirmasi dengan tes lain.
Negara-negara lain, seperti
Malaysia, sudah melakukan surveillance test berupa skirining rutin
terhadap pasien klinik PMS (penyait menular seksual), pengguna narkoba suntikan
(injecting drug use/IDU), perempuan hamil, polisi, narapidana, dan
pasien TB, sehingga prevalensi HIVnya lebih akurat. Sampai sekarang sistem ini
tidak ada di Indonesia sehingga identifikasi kasus-kasus baru hanya diperoleh
dari diagnosis dan darah donor.
Untuk mengantisipasi
kemungkinan penularan melalui transfusi darah Malaysia menetapkan pelayanan
transfusi darah di negeri jiran itu akan tunduk pada ISO (International
Organization for Standardization) melalui standar ISO/ICE 17025:1999 (general
requirements for the competence of testing and calibration laboratories). Cara yang ditempuh Malaysia itu dapat menjadi cermin bagi
kita. Biarpun biaya untuk mendapatkan sertifikat ISO besar, tetapi akan lebih
baik daripada dituntut ratusan miliar rupiah. ***[AIDS Watch Indonesia]***
* Penulis adalah pemerhati masalah HIV/AIDS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.