Tanggapan Berita. “Meningkatnya
praktik prostitusi terselubung terbukti telah menambah daftar para penderita
HIV/AIDS. Apalagi dengan hadirnya praktik prostitusi di dunia maya, penyebaran
penyakit mematikan tersebut pun kian susah dikendalikan.” Ini lead di berita “Prostitusi Kian Liar, Kasus HIV/AIDS Menjalar” (www.solopos.com, 27/8-2012).
Praktek pelacuran terselubung merupakan
dampak buruk dari penutupan lokalisasi pelacuran. Semula pelacuran di Kota
Solo, juga dikenal sebagai Kota Surakarta, dilokalisir di Silir. Tapi, desakan
dari berbagai kalangan membuat pemerintah kota menutup lokalisasi itu (Penutupan ‘Silir’: Apakah (Bisa) Menghapus Pelacuran
di Kota Solo?
- http://www.aidsindonesia.com/2012/08/penutupan-silir-apakah-bisa-menghapus.html).
Dikabarkan akhir-akhir ini praktek
pelacuran dengan memanfaatkan internet atau dunia maya, seperti melalui media
sosial, terus berkembang di Kota Solo. Dalam dunia pelacuran perempuan yang
bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) melalui dunia maya dikenal sebagai
PSK tidak langsung.
“Sejak
lokalisasi (pelacuran-pen.) di Solo ditutup, praktik prostitusi kian liar di
mana-mana. Akibatnya, upaya untuk membina dan mencegahnya pun kian sulit,” kata
pegiat di Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spekham)
Solo, Patmin.
Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS
dan IMS (infeksi menular seksual, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa,
virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.), maka penyebarannya didorong
oleh PSK tidak langsung.
Hal itu terjadi karena PSK tidak
langsung tidak bisa dikontrol agar mereka hanya meladeni laki-laki yang memakai
kondom ketika melakukan sanggama. Selain itu, banyak pula laki-laki ‘hidung
belang’ yang merasa mereka tidak melacur karena tidak dilakukan dengan PSK di
lokalisasi pelacuran. PSK di lokalisasi pelacuran dikenal sebagai PSK langsung.
Padahal, risiko tertular HIV dan IMS
atau dua-duanya sekaligus pada PSK tidak langsung tetap saja besar karena
mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang
berganti-ganti. Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang mengencani
mereka tanpa kondom mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya sehingga mereka
berisiko tertular HIV atau IMS atau dua-duanya sekaligus.
Data
di Spekham Solo menunjukkan kasus kumuatif HIV/AIDS di Kota Solo sampai
pertengahan 2012 mencapai 795.
Disebutkan
oleh Patmin, pengidap HIV/AIDS tersebut bukan hanya pekerja seks komersial
(PSK), melainkan juga menyerang ibu rumah tangga, anak balita, karyawan swasta,
pengusaha, para sopir. Bahkan, para pelajar dan mahasiswa pun juga sudah
terserang virus ganas itu.
Pernyataan
Patmin ini tidak akurat karena HIV/AIDS tidak menyerang tapi (HIV) menular. HIV
bukan virus ganas tapi termasuk retrovirus yaitu virus yang berkembang biak
pada sel darah putih manusia di dalam tubuh sehingga menurunkan sistem
kekebalan tubuh. Pada akhirnya orang-orang yang tertular HIV akan sampai pada
masa AIDS, secara statistic terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular. Pada masa
AIDS inilah kematian terjadi karena imunitas tidak bisa lagi menghalau
penyakit-penyakit sehingga menyebabkan kematian.
Disebutkan
lagi oleh Patmin: “ … usia paling rentan itu ialah 20 -35 tahun.”
Penyataan
ini menyesatkan karena kerentanan seseorang tertular HIV bukan karena usia tapi
karena perilaku, terutama perilaku seksual, orang per orang. Perilaku berisiko
tertular HIV melalui hubungan seksual jika dilakukan tanpa kondom di dalam dan
di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung, waria,
serta pelaku kawin-cerai.
Koordinator
Penanganan Kasus Spekham Solo, Nila Ayu Puspaningrum, mengatakan penting adanya
upaya untuk membangun pendidikan kritis bagi perempuan.
Nila
tidak objektif. Terkait dengan praktek pelacuran dan eksploitasi seks terhadap
perempuan yang jadi kunci adalah laki-laki. Maka, laki-laki yang harus dididik
agar bisa menjaga nafsu birahinya agar tidak melacur (tanpa kondom) dan
melakukan penindasan seksual terhadap perempuan.
Karena praktek pelacuran yang
melibatkan PSK tidak langsung baik melalui dunia maya, telepon, kurir, dll. tidak
bisa dikontrol, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Solo akan terus terjadi.
Celakanya, Peraturan Walikota Surakarta tentang pencegahan HIV/AIDS pun sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: Peraturan Walikota Surakarta (Solo) tentang Penanggulangan HIV dan AIDS - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/peraturan-walikota-surakarta-solo.html).
Pada akhirnya penyebaran
HIV/AIDS di Kota Solo akan bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W.
Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.