Tanggapan Berita. “62,7% Pengidap HIV/AIDS Usia Produktif.”
Ini judul berita di www.surabayapost.co.id
(20/7-2012).
Judul
berita ini mengesankan risiko tertular HIV ada pada usia produktif. Celakanya,
dalam berita tidak ada penjelasan yang rinci tentang mengapa banyak kasus
HIV/AIDS pada usia produktif.
Karena
tidak penjelasan itulah kemudian yang membuat judul berita sensasional.
Dikabarkan
kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Surabaya, Jatim, terus meningkat. Dari tahun
2007 - 2011 tercatat 5.576. Angka tersebut belum termasuk kasus baru yang
terdeteksi tahun 2012 sebanyak 287.
Kemungkinan
besar kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba karena mereka
wajib tes HIV jika hendak menjalani rehabilitasi. Fakta ini yang tidak muncul
dalam berita sehingga terkesan usia produktif sebagai ‘sasaran AIDS’.
Pernyataan
Esty Martiana Rachmi, Kepala Dinkes Surabaya, ini justru tidak memberikan fakta
tentang HIV/AIDS pada usia produktif: “Yang lebih memprihatinkan, dari
keseluruhan temuan kasus HIV/AIDS di Surabaya, 62,7 persen di antaranya
tergolong usia produktif. Yakni, usianya antara 20-39 tahun. “Ini jelas situasi
yang mengkhawatirkan, karena dampaknya sangat luas yang mengakibatkan kualitas
hidup menurun, produktivitas kerja terganggu, dan lain sebagainya.”
Yang
paling mengkhawatirkan justru Dinkes Kota Surabaya tidak mempunyai program yang
konkret untuk mencegah penularan HIV di kalangan usia produktif.
Ada
dua kemungkinan risiko penularan HIV pada kalangan usia produktif.
Pertama, melalui
penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik
secara bersama-sama dengan bergantian.
Kedua, melalui
hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) lansung atau
PSK tidak langsung di lokalisasi atau di luar lokalisasi.
Penanggulangan
pada kemungkinan pertama sudah berjalan, al. melalui program rumatan metadon
yaitu penyalahguna narkoba dengan jarum suntik diberikan narkoba sistetis agar
mereka tidak menyuntik lagi. Soalnya, risiko penularan pada penyalahguna
narkoba terjadi karena mereka memakai jarum dan tabung suntik secara
bergantian. Kalau ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS, maka yang lain
berisiko terutlar HIV melalui jarum suntik.
Yang
jadi persoalan besar adalah kemungkinan kedua. Di Kota Surabaya ada beberapa
lokasi atau lokalisasi pelacuran, tapi Pemkot Surabaya tidak mempunyai program
yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur
di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Disebutkan:
“ …. sekitar 20% dari jumlah tersebut atau sekitar 161 di antaranya adalah dari
kalangan PSK.”
Data
ini tidak dikembangkan wartawan melalui pengamatan di lokasi atau lokalisasi
pelacuran di Surabaya. Andaikan setiap malam seorang PSK meladeni tiga
laki-laki, maka di Kota Surabaya setiap malam ada 483 lak-laki yang berisiko
tertular HIV/AIDS. Risiko ini terjadi kalau laki-laki tidak memakai kondom
ketika sanggama dengan PSK.
Disebutkan
pula: “ …. masalah ini atau penularan HIV/AIDS di Surabaya sudah menjadi
persoalan serius yang membutuhkan pola penanganan yang tepat. ….”
Pola
penanganan yang tepat, khususnya penularan melalui hubungan seksual dengan PSK,
adalah menerapkan langkah konkret berupa intervensi yaitu mengharuskan
laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan PSK.
Langkah
yang dipilih Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim justru menutup semua lokasi atau
lokalisasi pelacuran.
Apakah
dengan cara itu tidak akan ada lagi praktek pelacurna di Kota Surabaya dan Jawa
Timur?
Tentu
tetap ada karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang
waktu. Akibatnya, program penanggulangan tidak bisa efektif karena praktek
pelacuran tidak dilokalisir.
Disebutkan
lagi: “ …. sebanyak 89% penularan HIV/AIDS di Surabaya pada tahun ini terjadi
akibat hubungan seks bebas.”
Pernyataan
ini tidak akurat karena kalau yang disebut ‘seks bebas’ adalah melacur, maka
penularan HIV bukan karena melacur tapi karena hubungan seksual dilakukan
dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS tanpa kondom.
Kalau PSK tidak mengidap HIV/AIDS, maka tidak ada risiko penularan HIV
biar pun melacur.
Menurut Wakil Walikota Surabaya, Bambang DH, …. ibu rumah tangga memiliki risiko yang sama terkena penularan penyakit mematikan tersebut.
Ada
fakta yang digelapkan di sini yaitu ibu rumah tangga berisiko bukan karena
perilaku mereka, tapi karena ditularkan suami. Maka, yang menjadi persoalan
adalah perilaku suami yang tidak memakai kondom jika melacur.
Wakil
Ketua Komisi D (bidang kesejahteraan) DPRD Surabaya, Edi Budi Parbowo,
mengatakan: “Kalau kondisi ini (kasus
HIV/AIDS pada usia produktif-pen.) dibiarkan generasi muda kita akan menjadi
generasi yang minim kualitas.”
Kalangan
usia produktif yang belum menikah menjadi terminal terakhir karena mereka tidak
mempunyai istri atau pasangan seks tetap. Sebaliknya, laki-laki dewasa,
terutama suami, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Salah
satu langkah yang konkret dan masuk akal hanyalah menurunkan insiden infeksi
HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau
lokalisasi pelacuran melalui program ‘wajib kondom 100 persen’.
Celakanya,
langkah konkret itu tidak akan bisa dilakukan karena lokasi dan lokalisasi
pelacuran akan ditutup. Maka, penyebaran HIV pun tidak bisa lagi dikontrol.
Pemkot Surabaya tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena penyebaran terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.