19 Agustus 2012

Di Kota Surabaya, Jawa Timur, HIV/AIDS Banyak Terdeteksi pada ‘Usia Produktif’

Tanggapan Berita. “62,7% Pengidap HIV/AIDS Usia Produktif.” Ini judul berita di www.surabayapost.co.id (20/7-2012).

Judul berita ini mengesankan risiko tertular HIV ada pada usia produktif. Celakanya, dalam berita tidak ada penjelasan yang rinci tentang mengapa banyak kasus HIV/AIDS pada usia produktif.

Karena tidak penjelasan itulah kemudian yang membuat judul berita sensasional.

Dikabarkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Surabaya, Jatim, terus meningkat. Dari tahun 2007 - 2011 tercatat 5.576. Angka tersebut belum termasuk kasus baru yang terdeteksi tahun 2012 sebanyak 287.

Kemungkinan besar kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba karena mereka wajib tes HIV jika hendak menjalani rehabilitasi. Fakta ini yang tidak muncul dalam berita sehingga terkesan usia produktif sebagai ‘sasaran AIDS’.

Pernyataan Esty Martiana Rachmi, Kepala Dinkes Surabaya, ini justru tidak memberikan fakta tentang HIV/AIDS pada usia produktif: “Yang lebih memprihatinkan, dari keseluruhan temuan kasus HIV/AIDS di Surabaya, 62,7 persen di antaranya tergolong usia produktif. Yakni, usianya antara 20-39 tahun. “Ini jelas situasi yang mengkhawatirkan, karena dampaknya sangat luas yang mengakibatkan kualitas hidup menurun, produktivitas kerja terganggu, dan lain sebagainya.”

Yang paling mengkhawatirkan justru Dinkes Kota Surabaya tidak mempunyai program yang konkret untuk mencegah penularan HIV di kalangan usia produktif.

Ada dua kemungkinan risiko penularan HIV pada kalangan usia produktif.

Pertama, melalui penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian.

Kedua, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) lansung atau PSK tidak langsung di lokalisasi atau di luar lokalisasi.

Penanggulangan pada kemungkinan pertama sudah berjalan, al. melalui program rumatan metadon yaitu penyalahguna narkoba dengan jarum suntik diberikan narkoba sistetis agar mereka tidak menyuntik lagi. Soalnya, risiko penularan pada penyalahguna narkoba terjadi karena mereka memakai jarum dan tabung suntik secara bergantian. Kalau ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS, maka yang lain berisiko terutlar HIV melalui jarum suntik.

Yang jadi persoalan besar adalah kemungkinan kedua. Di Kota Surabaya ada beberapa lokasi atau lokalisasi pelacuran, tapi Pemkot Surabaya tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur di lokasi atau lokalisasi pelacuran.

Disebutkan: “ …. sekitar 20% dari jumlah tersebut atau sekitar 161 di antaranya adalah dari kalangan PSK.”

Data ini tidak dikembangkan wartawan melalui pengamatan di lokasi atau lokalisasi pelacuran di Surabaya. Andaikan setiap malam seorang PSK meladeni tiga laki-laki, maka di Kota Surabaya setiap malam ada 483 lak-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS. Risiko ini terjadi kalau laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Disebutkan pula: “ …. masalah ini atau penularan HIV/AIDS di Surabaya sudah menjadi persoalan serius yang membutuhkan pola penanganan yang tepat. ….”

Pola penanganan yang tepat, khususnya penularan melalui hubungan seksual dengan PSK, adalah menerapkan langkah konkret berupa intervensi yaitu mengharuskan laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan PSK.

Langkah yang dipilih Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim justru menutup semua lokasi atau lokalisasi pelacuran.

Apakah dengan cara itu tidak akan ada lagi praktek pelacurna di Kota Surabaya dan Jawa Timur?

Tentu tetap ada karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Akibatnya, program penanggulangan tidak bisa efektif karena praktek pelacuran tidak dilokalisir.

Disebutkan lagi: “ …. sebanyak 89% penularan HIV/AIDS di Surabaya pada tahun ini terjadi akibat hubungan seks bebas.”

Pernyataan ini tidak akurat karena kalau yang disebut ‘seks bebas’ adalah melacur, maka penularan HIV bukan karena melacur tapi karena hubungan seksual dilakukan dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS tanpa kondom.  Kalau PSK tidak mengidap HIV/AIDS, maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun melacur.

Menurut Wakil Walikota Surabaya, Bambang DH,  …. ibu rumah tangga memiliki risiko yang sama terkena penularan penyakit mematikan tersebut.

Ada fakta yang digelapkan di sini yaitu ibu rumah tangga berisiko bukan karena perilaku mereka, tapi karena ditularkan suami. Maka, yang menjadi persoalan adalah perilaku suami yang tidak memakai kondom jika melacur.

Wakil Ketua Komisi D (bidang kesejahteraan) DPRD Surabaya, Edi Budi Parbowo, mengatakan:  “Kalau kondisi ini (kasus HIV/AIDS pada usia produktif-pen.) dibiarkan generasi muda kita akan menjadi generasi yang minim kualitas.”

Kalangan usia produktif yang belum menikah menjadi terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri atau pasangan seks tetap. Sebaliknya, laki-laki dewasa, terutama suami, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Salah satu langkah yang konkret dan masuk akal hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran melalui program ‘wajib kondom 100 persen’.

Celakanya, langkah konkret itu tidak akan bisa dilakukan karena lokasi dan lokalisasi pelacuran akan ditutup. Maka, penyebaran HIV pun tidak bisa lagi dikontrol. Pemkot Surabaya tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena penyebaran terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.