Kasus demi kasus HIV/AIDS terus
terdeteksi di wilayah Prov Papua. Data terakhir menunjukkan jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS yang terdeteksi sudah mencapai 12.187.
Angka yang dilaporkan itu sendiri tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS di masyarakat karena banyak kasus yang belum atau tidak terdeteksi.
Ketika penyebaran HIV terus terjadi,
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Papua seakan tak gentar. Buktinya, tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang
konkret. Yang dilakukan di Papua hanya membuat peraturan daerah (perda) untuk
menanggulangi penyebaran IMS (infeksi menular seksual, al. sifilis, GO,
hepatitis B, dll.) dan HIV/AIDS.
Setelah tujuh daerah yaitu kabupaten
(Nabire, Merauke, Jayapura, Puncak Jaya, Biak Numfor, dan Mimika) dan kota (Jayapura)
menelurkan perda, terakhir Pemprov Papua pun membuat perda yaitu Perda Prov
Papua No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.
Persoalan besar terkait dengan
penanggulangan HIV di Indonesia adalah cara-cara yang dilakukan tidak konkret
sehingga tidak menyentuh akar persoalan. Semua perda dibuat dengan semangat
moral sehingga pasal-pasal yang ada pun hanya bersifat normatif. Padahal,
penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan cara-cara yang konkret.
Faktor risiko penularan (mode of
transmission) HIV di Papua adalah: melalui laki-laki lokal, asli atau
pendatang, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks
komersial (PSK) yang selanjutnya ditularkan kepada istri atau pasangan seks, di
dalam dan di luar nikah, yang tidak memakai kondom.
Transaski seks antara laki-laki
dewasa dengan PSK terjadi di banyak tempat yang tersebar luas di Papua. Di
Jayapura ada lokasi pelacuran Tanjung Elmo yang dikenal dengan sebutan ‘turki’
(turunan kiri) di pinggir Danau Sentani. Di Merauke ada lokasi Yobar (kabarnya
kata ini berasal dari ajakan ‘ayo ke bar’).
Seks Tidak Aman
Tapi, dalam perda-perda yang sudah
ada, termasuk perda provinsi (perdasi) sama sekali tidak menyentuh risiko
penularan HIV di lokasi pelacuran secara konkret.
Bahkan, di Perda AIDS Papua lokasi
pelacuran disamarkan atau diperhalus dengan sebutan ‘lokasi kegiatan yang
berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV’.
Terminologi ini sangat naïf dan
munafik. Penularan HIV tidak terjadi karena ada lokasi (pelacuran), tapi karena
ada hubungan seksual tanpa kondom antara laki-laki dan perempuan (PSK) yang
salah satu dari mereka mengidap HIV.
Maka, ada kemungkinan laki-laki
lokal, asli atau pendatang, yang mengidap HIV menularkan HIV kepada PSK.
Selanjutnya laki-laki lokal yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa
kondom berisiko pula tertular HIV. Sayang, dalam Perda AIDS Papua tidak ada
pasal yang menukik ke fakta ini.
Biar pun fakta menunjukkan
penyebaran HIV di Papua didorong oleh perilaku seksual yang tidak aman, tapi di
pasal 2 tentang penularan HIV malah terbalik, yaitu (a) transfusi darah, (b)
jarum suntik, (c) hubungan seks, dan (d) dari ibu ke bayi.
Di pasal 3 disebutkan pencegahan
penularan HIV ditujukan kepada (1) yang berisiko tinggi, (b) yang tidak
berisiko, (c) lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan
HIV.
Lalu langkah yang ditempuh
disebutkan di pasal 4, yaitu (a) “Setiap orang yang berisiko tinggi tertular
atau menularkan HIV wajib menggunakan kondom setiap melakukan hubungan seks
dengan pasangannya.” Jika yang dimaksud dengan ‘pasangannya’ adalah istri, maka
mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK,
perempuan lain, atau pasangan sejenis.
Kalau saja perda ini tidak dibalut
dengan moral, maka pasal itu berbunyi: “Laki-laki wajib memakai kondom jika
melakukan hubungan seksual dengan PSK.” Maka, ketika sanggama dengan istrinya dia tidak perlu
memakai kondom. Karena pasal itu tidak menyentuh akar persoalan maka banyak ibu
rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya.
Di pasal 5 ayat a disebutkan: ”Setiap orang yang tidak berisiko tertular
dan menularkan HIV wajib melakukan hubungan seks dengan satu pasangan tetap dan
sah.” Lagi-lagi pasal ini membuktikan perda ini bermuatan moral. Tidak ada
kaitan langsung antara ’pasangan tetap dan sah’ dengan penularan HIV. Penularan
HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah dengan
pasangan tetap atau tidak tetap jika salah satu mengidap HIV dan laki-laki
tidak memakai kondom. Ini fakta.
Di pasal 6 ayat 1 huruf a disebutkan: ”Pengelola lokasi kegiatan yang
berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melakukan pemeriksaan
kesehatan terhadap setiap penjaja seks komersial yang untuk pertama kali
memasuki dan melakukan hubungan seks di lokasi yang bersangkutan.” Karena perda
ini terkait dengan HIV/AIDS, maka tidak ada kaitan langsung antara kesehatan
PSK dengan HIV/AIDS. Yang perlu dilakukan adalah tes HIV kepada PSK ’baru’.
Tapi, ini juga tidak jaminan biar pun hasil tes negatif, karena setelah tes
bisa saja PSK itu tertular HIV.
Selanjutnya di pasal 6 ayat 1 huruf c disebutkan: ”Pengelola lokasi
kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib
mengembalikan setiap penjaja seks komersial yang berasal dari luar Papua ke
daerah asal yang diketahui terinfeksi HIV/AIDS dengan beban biaya dari
pengelola dan wajib melaporkan kepada KPA Provinsi dan Komisioner.”
Paling tidak ada tiga hal yang luput dari perhatian terkait dengan pasal di
atas, yaitu:
Pertama, langkah yang ditempuh Pemprov Papua itu merupakan
perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
(HAM). Tidak ada UU yang membenarkan pemulangan seorang PSK yang terdeteksi
HIV.
Kedua, ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada PSK itu
justru laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Nah, laki-laki ini
akan terus menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua atau daerah lain sebelum
terdeteksi atau sebelum mati.
Ketiga, biar pun PSK yang terdeteksi HIV dipulangkan dia sudah
’meninggalkan’ HIV/AIDS pada laki-laki di Papua, asli atau pendatang. Laki-lak
ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua atau daerah lain
sebelum terdeteksi atau sebelum mati.
Tiga hal di atas luput dari perhatian karena perda ini dibalut dengan
semangat moral.
Langkah untuk mewajibkan kondom diatur di pasal 6 ayat 1 disebutkan:
”Pengelola lokasi kegiatan yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV
wajib: (e) menyediakan kondom serta mewajibkan penggunaan kondom dengan cara
benar bagi setiap orang yang melakukan hubungan seks dengan penjaja seks
komersial; (f) mengatur dan memastikan setiap penjaja seks komersial menolak
orang yang melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom dengan cara benar.
Bom Waktu
Langkah ini merupakan ’turunan’ dari program ’wajib kondom 100 persen’ di
Thailand tapi dipakai dengan ’setengah hati’ dan dibalut moral sehingga
penerapannya pun tidak konkret.
Bagaimana cara memastikan bahwa laki-laki memakai kondom jika sanggama
dengan PSK? Di pasal 6 ayat 1 huruf g disebutkan: ”Pengelola lokasi kegiatan
yang berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melaporkan kepada
petugas keamanan setiap orang yang memaksa untuk melakukan hubungan seksual
dengan penjaja seks komersial tanpa menggunakan kondom.”
Banyak cara yang akan dilakukan laki-laki ’hidung belang’ untuk ’memaksa’
PSK meladeninya tanpa kondom. Untuk itulah Thailand jauh lebih arif karena
memakai nalar yaitu melakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual,
seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) terhadap PSK secara
rutin. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo akan menerima
sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.
Perda ini memang menerapkan cara Thailand itu tapi dengan cara yang tidak
komprehensif yaitu di pasal 6 ayat 1 huruf i: ” Pengelola lokasi kegiatan yang
berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV wajib melakukan pemeriksaan
kesehatan penjaja seks komersial secara berkala ke tempat rujukan terdekat.”
Mengapa tidak menyebutkan penyakit yang diperiksa secara konkret? Ini
berkaitan dengan pelacuran maka bukan kesehatan secara umum, tapi penyakit IMS
dan HIV/AIDS. Maka, instansi terkaitlah yang melakukan survailans tes IMS rutin
terhadap PSK.
Di pasal 7 tempat pelacuran tidak lagi disebut ’lokasi kegiatan yang
berpotensi mempermudah terjadinya penularan HIV’, tapi ’tempat praktek seks
komersial’. Ini menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Mengapa tidak disebut
saja ’lokasi atau lokalisasi pelacuran’? Agaknya, Pemprov Papua mau menunjukkan
bahwa daerah itu ’beradab’ dengan tidak menyebut ’lokasi atau lokalisasi
pelacuran’.
Disebutkan pada pasal 7ayat 1 akan ada sanksi pengehentian sementara atau
pencabutan izin usaha bagi pengelola tempat praktek seks komersial jika
melanggar pasal 6.
Jika disimak pasal 7 itu berarti ’lokasi kegiatan yang berpotensi
mempermudah terjadinya penularan HIV’ dan ’tempat praktek seks komersial’
merupakan tempat yang legal karena ada izin usaha. Ya, sama saja dengan izin
bagi germo di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Semangat ’moral’ perda ini muncul lagi di pasal 13 ayat b: ”Setiap orang
wajib meningkatkan ketahanan keluarga untuk pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS.” Tanpa disadari oleh pembuat perda ini pasal tsb. mendorong
masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda)
kepada orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka tertular HIV
karena tidak mempunyak ketahanan keluarga.
Lagi pula, apa, sih, kaitan langsung antara ’ketahanan keluarga’ dengan
penularan HIV? Tidak ada! Itu hanya normatif yang kabur dan tidak terkait
dengan penanggulangan HIV/AIDS.
Banyak yang menyoroti pasal 40 tentang sanksi pidana karena dianggap sangat
lemah sehingga dikkhawatirkan efek jeranya tidak efektif karena ancamanya hanya
pidana kurungan 6 bulan atau denda Rp 50 juta. Ya, UU mengatur bahwa sanksi
pidana melalui perda maksimal enam bulan.
Terkait dengan penanggulangan HIV,
hukuman kurungan tidak menyelesaikan persoalan karena orang-orang yang sudah
mengidap HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV
secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan
di luar nikah tanpa kondom.
Maka, kalau saja perda itu dibuat
dengan pijakan fakta medis terkait HIV/AIDS, maka pasal yang perlu mewajibkan
setiap orang yang perilakunya berisiko untuk tes HIV. Siapa, saja mereka itu?
Yang wajib tes HIV adalah:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa
yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan
di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di Papua atau di luar Papua.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti
pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel
berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’,
’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku
kawin-cerai di Papua atau di luar Papua.
Jika kasus-kasus HIV/AIDS yang ada
di mayarakat tidak terdeteksi, maka kasus itu akan menjadi ‘bom waktu’ yang
kelak menjadi ledakan AIDS. ***[Syaiful
W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.