10 Agustus 2012

Bukan Hanya Pengidap HIV/AIDS, Semua Identitas Pasien adalah Rahasia

Berita tentang pengidap atau penderita HIV/AIDS tidak boleh menyebut nama penderita secara langsung, kecuali atas kesediaan atau persetujuan yang bersangkutan. "Harus anonim jika memberitakannya. Kecuali memang yang bersangkutan mau disebutkan namanya." Ini pernyataan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dien Emmawati (Identitas Penderita HIV/AIDS Harus Anonim, kompas.com, 8/8-2012).

Catatan medis pasien
terkait dengan sumpah jabatan
dan kode etik Dokter
Penjelasan Dien itu tidak komprehensif sehingga mengesankan penderita atau pengidap HIV/AIDS diistimewakan jika dibandingkan dengan penderita penyakit lain.

Sayangnya, wartawan yang menulis berita ini pun tidak memahami catatan medis (medical record) yang merupakan rahasia sebagai sumpah jabatan dokter. Semua keterangan, identitas pasien, jenis penyakit, hasil laboratorium, tindakan, dan lain-lain, adalah rahasia dalam catatan medis. Yang boleh membacanya hanya pasien dan dokter. Perawat pun tidak boleh membaca catatan medis pasien.

Publikasi catatan medis harus izin pasien karena merupakan fakta privat. Kecuali penyakit yang terkait dengan wabah, seperti kolera, deman berdarah dan lain-lain, boleh dipublikasikan tanpa izin yang bersangkutan.

Selama tidak merujuk kepada pengidap HIV/AIDS secara langsung boleh saja dengan inisial atau nama samaran. Tapi, kalau pakai nama samaran perlu hati-hati juga karena bisa mengarah langsung ke penderita.

Ada berita tentang anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di sebuah kecamatan di Kab Bekasi, Jabar. Nama anak itu disebut inisial berupa huruf awal namanya (RI) tapi dengan menyebutkan nama desa dan kecamatan. Nama ini mudah dilacak karena tidak banyak orang dengan inisial nama RI di satu desa.

Di Aceh lain lagi. Seorang wartawan menulis berita juga dengan inisial tapi mendeskripsikan ybs. Dikabarkan bahwa ada seorang laki-laki penduduk Desa ”X” pulang kampung  dari Jakarta karena mengidap HIV/AIDS. Celakanya, di kampung itu hanya ada tiga laki-laki yang merantau ke Jakarta. Akibatnya, laki-laki tadi dikucilkan tetangganya.

Untuk itulah wartawan diharapkan bisa memahami mengapa identitas Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan penyakit lain tidak boleh dipublikasikan karena ada dampak buruk dari identitas itu di masyarakat terhadap diri mereka.

Apalagi terkait dengan HIV/AIDS jika diketahui maka mereka akan mendapatkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) di masyarakat.

Lagi pula biar pun semua Odha dipublikasikan namanya, masih banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Justru yang jadi persoalan besar dalam penyebaran HIV/AIDS adalah orang-orang yang belum terdeteksi karena mereka tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV.

Akibatnya, mereka menyebarkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Mereka jadi mata rantai penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah. Muaranya kelak adalah ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.