Tanggapan Berita. “Eksploitasi lingkungan dengan hadirnya
perusahaan-perusahan mengakibatkan penyakit HIV-AIDS menyerang beberapa
daerah di Papua. Daerah-daerah itu masing-masing Asmat, Degeuwo dan Mimika.”
Ini lead di berita “Akibat Kehadiran
Perusahaan, HIV-AIDS Menyerang Bebeapa Daerah” (tabloidjubi.com, 24/7-2012).
Pernyataan
dalam lead berita itu merupakan mitos (anggapan yang salah) tentang penyebaran
HIV/AIDS. Sebagai virus HIV/AIDS tidak menyerang karena virus ini ada di dalam
darah sehingga penularannya pun harus melalui kontak cairan tubuh yang
mengandung HIV dalam jumlah yang bisa ditularkan.
Yang
jadi persoalan besar adalah perilaku seks, terutama laki-laki dewasa, yang
tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks
komersial (PSK).
Lalu,
apa kaitan antara perusahaan dengan HIV/AIDS?
Rupanya,
kehadiran perusahaan pertambangan di Papua mendorong praktek pelacuran dengan
PSK.
Tapi, persoalan bukan pada PSK karena yang mendatangi PSK untuk ‘membeli seks’ justru laki-laki dewasa lokal, asli atau pendatang. Celakanya, laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Maka, perilaku itu berisiko menularkan HIV kepada PSK atau tertular HIV dari PSK.
Di Kab Asmat, misalnya, dikabarkan tahun 1992 – 1993 ramai dengan perdagangan kulit kayu gaharu. Perdagangan bukan dengan penjualan tunai, tapi barter dengan seks yang diladeni PSK. Nah, kalau laki-laki pencari kulit kayu tidak melakukan barter kulit kayu dengan layanan seks PSK, tentulah tidak ada risiko tertular HIV.
Disebutkan bahwa penyebaran HIV/AIDS di Agats, salah satu wilayah di Asmat, terjadi karena mobilitas penduduk, terutama laki-laki pencari kulit dan getah kayu gaharu. Yang terjadi kemudian adalah barter kulit kayu dengan layanan seks. Harga kulit dan getah gaharu mencapai jutaan rupiah per kilogram.
Kasus HIV/AIDS itu terjadi karena mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK sebagai barter kulit kayu.
Keterangan dari Maria, perawat di RS Asmat, banyak kasus IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, hepatitis B, dll.) yang ditangani rumah sakit itu. Di tahun 1990-an terdeteksi 157 kasus IMS. Sejak tahun 1997, ketika PSK mulai berdatangan ke daerah itu, dilaporkan kasus IMS terus meningkat.
Kalau
PSK yang menularkan IMS kepada pencari kulit kayu itu juga mengidap HIV/AIDS,
maka sekaligus terjadi penularan HIV/AIDS. Yang ada gejala hanya IMS, sedangkan
HIV/AIDS tidak menunjukkan gajala atau tanda-tanda yang khas pada fisik
orang-orang yang sudah tertular HIV.
Menurut Koordinator untuk bidang advokasi isu kesehatan, HIV-AIDS serta Perempauan dan Anak, Forum Kerja Sama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker - LSM) Papua, Lucia Erni, sejak PT. Freeport Indonesia beroperasi penyebaran HIV/AIDS marak. Tidak langsung, tapi karyawan yang bekerja di perusahaan itu banyak yang mampir di lokalisasi dan hotel di Pomako, Mimika.
Nah,
kesalahan ada pada karyawan yang mampir itu. Pertama, mengapa mereka harus
mampir? Kedua, kalau mereka mampir hendak menyalurkan dorongan seks dengan
melacur, mengapa mereka tidak memakai kondom?
Kepala-kepala
suku di sekitar perusahaan tambang itu menerima uang dari perusahaan sekitar Rp
1 miliar. Dikabarkan bahwa kepala-kepala suku yang menerima uang bukan pulang
ke rumah membawa uang, tapi mampir ke lokalisasi pelacuran.
Persoalan
baru muncul karena kepala-kepala suku itu akan menjadi mata rantai penyebaran
HIV di komunitasnya.
Ketua Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Mimika, Reynold Ubra, mengatakan tahun 2011 kasus HIV/AIDS terdeteksi pada orang Papua asli sebanyak 165 (78,57 persen), non Papua 45 kasus (21.43 persen).
Kasus
HIV/AIDS di Kab Mimika dilaporkan kian mengkhawatirkan. Kasus HIV/AIDS di Kab
Mimika hingga 31 Desember 2010 mencapai 2.463, terdiri atas 1.268 laki-laki dan
1.195 perempuan.
Di Degeuwo, Nabire, dikabarkan ada perusahaan tambang emas, banyak penambang emas liar dari luar daerah yang menambang secara illegal di kawasan itu sejak tahun 2001. Seiring dengan kegiatan penambangan, kafe, bar, dan rumah biliar pun tersedia di sana. Celakanya, laki-laki asli Papua sering berkunjung ke tempat itu yang terkadang berujung pada hubungan seksual dengan PSK.
Menurut
Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Wulani, Mee dan Moni
(LPMA-SWAMEMO), Thobias Bagubau, sepanjang malam tempat-tempat hiburan itu
ramai. Praktek pelacuran pun terjadi di sana.
Dikabarkan di Lokasi 99 ada 20 kafe, dan di Bayabiru ada 20. Selain menjual minuman keras (miras) kafe itu pun menyediakan PSK.
Bertolak
dari fenomena itu, maka yang perlu dilakukan adalah program penanggulangan yang
konkret, dalam hal ini menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
melalui hubungan seksual dengan PSK, yaitu intervensi agar laki-laki memakai
kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Tanpa
intervensi dengan program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Papua akan
terus terjadi. Mencari ‘kambing hitam’ dan penyangkalan tidak akan menghentikan
penyebaran HIV/AIDS di Papua. ***[Syaiful
W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.