![]() |
ceftriqueen.blogspot.com |
Ada
beberapa hal yang tidak akurat pada lead berita di atas. Pertama, HIV/AIDS bukan
penyakit. HIV adalah virus, sedangkan AIDS adalah suatu kondisi pada seseorang
yang sudah tertular HIV antara 5 -15 tahun. Kedua, yang dilakukan
dinas kesehatan itu adalah survailans tes HIV untuk mendapatkan prevalensi
yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan
tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula.
Karena sifatnya hanya survailans, maka 17 PSK itu tidak bisa dinyatakan mengidap HIV. Standar baku tes HIV menyaratkan setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Ada tes konfirmasi Western blot. Ini mahal dan hanya ada di RSCM Jakarta. WHO menganjurkan tes HIV dengan reagent ELISA tiga kali sebagai konfirmasi tapi dengan reagent dan teknik yang berbeda.
Dengan
data itu wartawan bukan membesar-besarkan angka 17 sebagai sensasi, tapi
membawa data itu ke tataran realitas sosial. Artinya, kalau di antara yang 17
PSK itu ada yang benar-benar mengidap HIV/AIDS, maka ada dua kemungkinan,
yaitu:
(1)
HIV/AIDS pada PSK itu ditularkan oleh laki-laki penduduk lokal, asli atau
pendatang. Ini artinya sudah ada laki-laki di masyarakat yang mengidap HIV/AIDS
tapi tidak terdeteksi.
(2)
PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tsb. sudah tertular HIV di luar Blora.
Kalau ini yang terjadi maka laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan
PSK tanpa kondom berisiko tertular HIV.
Pada
tataran epidemiologi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki
yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat,
terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Jumlah
kasus yang terdeteksi pada PSK itu yaitu 17 merupakan bagian dari 106 PSK yang
mengikuti survailans. Ini artinya ada 16 persen.

PSK
yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tsb. ‘praktek’ di lokalisasi pelacuran
Kampung Baru, Kec Jepon, Sumberarum Cepu, Ngelebok Cepu dan Kunduran.
Maka,
yang perlu dikembangkan wartawan berdasarkan data itu adalah memberikan
gambaran kepada masyarakat bahwa di tempat-tempat pelacuran itu ada PSK yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Bagi laki-laki yang pernah melakukan hubungan
seksual dengan PSK di lokalisasi itu dianjurkan untuk menjalani tes HIV karena
mereka berisiko tertular HIV.
Untuk
mendapatkan fakta empiris, maka wartawan melakukan pengamatan di lokalisasi
pelacuran yang disebutkan untuk memberikan gambaran ril tentang tingkat risiko
penularan HIV. Misalnya, mengambarkan tingkat pemakaian kondom serta profil
pengunjung, terutama tentang status pernikahan laki-laki ‘hidung belang’.
Jika
pemakaian kondom rendah, maka Pemkab Blora harus membuat regulasi agar
laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom setiap kali sanggama dengan PSK.
Dampak
tingkat pemakai kondom yang rendah pada hubungan seksual dengan PSK dapat
dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi
yang mereka lahirkan.
Kalau
Pemkab Blora tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’, maka penyebaran HIV di Kab
Blora akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch
Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.